Selasa, 05 Agustus 2008

Media Massa Tak Sensitif Gender


Banyaknya peristiwa dan perilaku kaum perempuan yang di eksploitasi oleh media massa, seperti perselingkuhan, aborsi, pembuangan mayat bayi, penjualan anak dan sebagainya berdampak pada hujatan panjang yang di tujukan terhadap kaum perempuan. Artikel mengenai buruknya perilaku perempuan yang adalah calon ibu marak di koran-koran baik nasional maupun lokal.
Dan biasanya, ketika perempuan yang dihujat, maka laki-lakilah yang menjadi penghujatnya. Media massa yang mengeksploitasi peristiwa tersebut rasanya telah memojokkan perempuan.
Dengan menarik perhatian publik untuk lebih memperhatikan cerita-cerita yang dibangun media yang lebih mengutamakan cerita kehidupan perempuan pelaku aborsi, klinik-klinik aborsi ilegal, dan bahkan yang tidak relevan sama sekali seperti cerita tentang siapa yang menemukan mayat bayi-bayi malang tersebut, dan bukannya mempertanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab atas keberadaan calon bayi tersebut, media telah dengan sewena-mena menyudutkan kaum perempuan.
Jika kita menilik figur angka pelaku media massa, ada suatu pembagian yang sangat tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan jumlah antara jurnalis perempuan dan laki-laki tentu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan kenapa media kita begitu membedakan jenis kelamin (seksis). Belum tentu jurnalis perempuan sudah memiliki perspektif gender dalam menurunkan tulisan dan menilai permasalahan social yang di hadapinya.
Ironisnya, jika media massa di satu sisi mempromosikan nilai-nilai “kesejajaran” antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain masih juga menjalankan praktek-praktek obsolit. Di satu sisi, sebagai agen dari propaganda adil gender, media massa memberikan aplaus pada slogan “peran ganda perempuan modern”, di sisi lain mereka menuntut perempuan, sebagai “lawan jenisnya”, untuk tetap tinggal “terdomestikasi” dengan meragukan kemampuan mereka untuk berkarya di dunia publik, tentu saja dengan menggunakan perspektif media massa yang maskulin.Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah nilai-nilai produksi dan pasar. Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah “hanya” memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola yang terus menerus, semakin mempertajam degredasi ranah publik-domestik. Hal ini tentu bukan hanya hasil patriomoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak.
Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama negara,
Tarik ulur antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Apakah mereka harus kehilangan hak-hak istimewa (privilege) yang sudah terlegitimasi hanya untuk satu posisi yang tidak jelas jika mereka harus memasuki dunia asing yang dinamakan ranah publik?
Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama “kaum perempuan” dan “kaum buruh”, berterimakasih kepada media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus itu dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih eksis, bagaimana jika Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini?
Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga, dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan “kematiannya” dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita, karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah “berita yang pantas dipublikasikan”. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri tentang perang gender yang tidak pernah berakhir. Tidak terelakkan juga analisa politik bahwa pembunuhan Marsinah ini adalah panggung cerita konflik antara laki-laki yang direpresentasikan oleh orang-orang yang berkuasa sebagai “pembunuh” dan perempuan diwakilkan oleh Marsinah sebagai “terbunuh”. Siapakah yang memenangkan kontes ini? Nampaknya justru media massa, peserta kontes yang tidak terdaftar, atau juri, yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk bagaimana cerita harus berakhir. Akhir cerita berubah menjadi kabur dan hanya media massa yang sadar akan substitusi antara apakah yang sesungguhnya (real) dan reproduksi dari yang sesungguhnya (hyper-real). Ketika cerita-cerita tentang buruh perempuan menampilkan nama-nama lain, media massa-lah yang melahirkan “reproduksi” dari sosok Marsinah.
Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naïf terbawa arus dan mempertahankan “hegemoni kultural” yang terus-menerus dan mendapatkan penghormatan sebagai “ratu rumah tangga”, atau sebaliknya bersikap radikal menghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label “pemberontak”. Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertonton kan pencapaian mereka dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi. Secara tidak sadar hal ini mempertahankan “ketergantungan terwariskan” pada perempuan terhadap laki-laki.
Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya. Diharapkan, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bias dipisahkan juga dari perilaku laki-laki. Namun, dengan melihat begitu banyaknya kejadian yang menimpa perempuan sepanjang tahun sejak kasus aborsi masal tersebut meledak, mulai dari kasus TKW sampai dengan pornografi, dan kecenderungan media massa untuk menampilkannya dalam berita dengan bahasa-bahasa dan analisa yang melecehkan dan tidak berpihak pada perempuan belum terlihat adanya upaya media massa memperjuangkan gender, jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap perempuan?
Maka, tidak heran, dalam budaya masyarakat patriarki agama diselewengkan. Coba lihat media elektronik dan film-film bioskop yang bertema horor-setan. Atau sinetron-sinetron "religi" di teve-teve, yang dibuka dan ditutup dengan ceramah rohani. Sang ustadz dan agamawan selalu laki-laki. Adapun Mak Lampir, pocong, kuntilanak, sundel bolong, hantu bangku kosong, suster ngesot, di perankan oleh perempuan. Ke manakah perginya Pak Lampir? Abah bolong? Mantri ngesot? Mengapa hantu-hantu itu selalu perempuan? Dan, mengapa sang pengusir hantu itu selalu laki-laki agamawan? Ini adalah produk-produk media massa yang didasari budaya patriarki; segalanya dilihat dari perspektif laki-laki.
Nasib Perempuan
Bila ada laki-laki pecandu narkoba, atau mantan perampok, yang bertobat, lantas menjadi ustadz, maka masyarakat menyambut hangat. Adakah sambutan yang sama diberikan pada mantan pelacur-nista, yang berbalik mendalami agama? Berita seperti ini rasanya jarang terdapat di media massa yang kemudian menjadi isu publik. Adakah masyarakat kita siap menerimanya? Bahkan contoh kasus yang masih hangat di liput media massa yaitu tertangkapnya actor kondang Roy Martin dalam kasus narkoba oleh Polda Metro Jaya, ternyata masayarakat masih bisa menerima tidak hanya itu pihak pemerintah pun juga bisa menerima, Hal itu juga tidak luput dari besarnya andil media pers terhadap kasus Roy Marten. Herannya lagi kasus serupa terjadi lagi pada saat Roy Marten mengkampanyekan anti narkoba bersama Jendral Pol Sutanto. Yang menjadi pertanyaan apakah hal serupa juga bisa diterima jika hal ini dilakukan oleh seorang perempuan ? Dan apakah media massa juga akan berlaku sama terhadap kasus tersebut dalam mengekspose maupun mengomentari kasus itu?
Sering kali kita sendiri yang menghalang-halangi saudari- saudari kita itu untuk kembali ke jalan suci. Dengan memakai standar ganda, "perempuan harus lebih bisa menahan diri dan lebih suci dari pada laki- laki". Pria berdosa ditoleransi karena "manusiawi". Namun, jika wanita berdosa dicaci maki, bahkan seringkali oleh kaum wanita sendiri. .Dosa kejatuhan Adam ke bumi dipersalahkan pada Hawa. "Memang perempuanlah penyebab bencana-kejatuhan", begitulah mereka punya pernyataan. Maka, tidaklah heran jika setan-setan dan hantu di film bioskop maupun sinetron teve kebanyakan perempuan.
Padahal, bukankah Adam juga tidak bisa menahan diri? Dan, menurut firman Tuhan dalam Al Quran, Adam dan Hawa justru sama-sama tidak dapat menahan diri (QS, 7:19-25

Tidak ada komentar: