Selasa, 05 Agustus 2008

Harga Sebuah Pendidikan dan Sikap Konsumtif

Seorang kawan datang dengan mobil barunya, dengan senyum sumringah berkata,”Harga memang nggak pernah bohong ya ....” Menepuk-nepuk mobil barunya itu, sebuah sedan kelas menengah dan bercerita panjang lebar mengenai kecanggihannya. Didalamnya bertebaran CD lagu, baik yang WMA maupun MP3 (bajakan tentunya). Semakin memukau mobil itu karena di lengkapi juga dengan sebuah DVD player dan TV kecil (sayang DVD-nya bajakan juga). CD dan DVD itu sendiri masing-masing berjumlah satu box kecil berukuran kira-kira 20X20 cm, jumlah yang cukup banyak untuk CD dan DVD yang dimuat tanpa box (namanya juga bajakan).
Orang seperti kawan saya itu tidak hanya satu di republik ini. Banyak sekali. Begitu royalnya dengan rupa-rupa barang dan gaya hidup, tapi herannya selalu memandang pendidikan sebagai suatu hal yang mahal. Warisan kolonialisme yang paling berbekas pada masyarakat kita memang sifat materialistis yang turun-temurun. Tidak heran, oleh banyak politisi (terutama di era pemilihan langsung untuk kepala daerah seperti sekarang) issu “pendidikan gratis” selalu menjadi sebuah “jurus pamungkas” untuk memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah (mungkin nanti berulang lagi di pemilihan presiden, siapa tahu). Karena masyarakat kita sebenarnya memandang pendidikan sebelah mata. Masyarakat kita lebih suka beli VCD dan DVD bajakan ketimbang bayar iuran sekolah. Masyarakat kita lebih menyukai mendirikan mal-mal yang bagus ketimbang merenovasi sekolah. Pendidikan bukan lagi sebuah hal yang prioritas. Seorang selebriti di sebuah infotainment yang menjamur di TV bisa dengan santainya mengatakan kalau dia tidak akan melanjutkan kuliah karena kesibukannya shooting dan segala macam aktivitas keartisannya.
Entah apa yang terjadi dengan republik ini sebenarnya, sebuah negara yang memiliki founding fathers yang mengutamakan pendidikan, yang mengupayakan peningkatan kecerdasan bangsanya agar mampu bangkit dari kolonialisme, setelah sekian dekade merdeka malah cenderung konsumtif dan tidak memperdulikan pendidikan. Pendidikan dianggap sesuatu yang membebani, hanya menjadi urusan pemerintah dan segala macam predikat yang menjadikan pendidikan dan berprestasi dibidang pendidikan hanya sesuatu yang “biasa-biasa” saja.
Entah apa yang terjadi (pula) dan berkembang selama republik ini merdeka, semakin lama cenderung konsumtif dan menginginkan segala sesuatunya serba instan. Pemenang sebuah kontes ‘reality show’ lebih dikenal oleh masyarakat ketimbang anak-anak peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat dunia. Dan berbondong-bondong orang yang menginginkan menjadi peserta reality show tersebut ketimbang mengikuti program pelatihan Fisika ala Johanes Surya. Padahal program reality show tersebut hanya akan mengorbankan jenjang pendidikan pesertanya.
Sektor pendidikan adalah sebuah investasi. Investasi yang panjang dan tidak berkesudahan bagi suatu bangsa. Walaupun terlihat lambat, investasi itu akan berbuah manis untuk bangsa yang menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Jangan lupa, bahkan negara sebesar Amerika Serikat saat ini masih meributkan banyaknya remaja disana yang putus sekolah, adakah pemerintah kita memikirkan banyaknya penduduk kita yang masih buta huruf .... ??
Kalau kita menengok sejarah pendidikan di negeri ini, tentu tidak terlepas dari jasa pahlawan pendidikan kita yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang dengan semangat pantang menyerah berupaya membangkitkan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Melalu ajarannya yang terdiri tiga kalimat penuh makna yaitu: Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), Ing madyo mangun karso (di tengah membangun karya), Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Tiga kalimat dari ajaran seorang ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang juga disebut Ki Hadjar Dewantara kemudian pelopor Perguruan Taman Siswa ini diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei (1889) diabadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1959.
Ternyata beliau tidak hanya dalam bidang pendidikan nasional berkiprah. Ki Hadjar Dewantara pun sebelumnya aktif dalam masa pergerakan nasional di dalam organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Indische Parti pada tahun 1912. Sebuah momen yang kita kenal menjadi Kebangkitan Nasional, dirayakan setiap 20 Mei. Bahkan pada tahun 1913 beliau secara politik aktif dalam menentang Perayaan Seratus Tahun Belanda dari Prancis melalui Komite Bumiputra. Ditentangnya perayaan tersebut adalah karena pihak Belanda memeras rakyat untuk kepentingan perayaan tersebut. Salah satu ucapannya yang ditulis dalam koran Douwes Dekker de Express adalah bertajuk Als Ik Eens Nederlander Was –Seandainya Aku Seorang Belanda.
Dalam tulisan tersebut dikisahkan: “aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat tulisan tersebut beliau dibuang tanpa proses pengadilan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg, namun atas tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda.Dan sepulang dari pengasingan di Belanda –yang beliau gunakan juga untuk memperdalam ilmu– ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa –Perguruan Nasional Tamansiswa– pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Dalam kaitannya dengan konteks pendidikan masa kini lantas apa gerangan yang terjadi? Amat menyedihkan ketika dunia pendidikan di negeri ini sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Termasuk masyarakat pun kurang dapat mengambil hikmah dari sejarah perjuangan pendidikan yang telah dirintis dengan susah payah oleh Ki Hadjar Dewantara guna mencerdaskan bangsa. Sedangkan pada sisi lain, para pengambil kebijakan di sektor pendidikan nampaknya pun lebih memilih langkah privatisasi sehingga implikasi dari pilihan tersebut menyebabkan banyak warga negara yang tidak bisa mengenyam sekolah dikarenakan ongkos atau biayanya relatif mahal.
Seiring perkembangan zaman dengan berbagai infiltrasi budaya asing masuk ke negeri ini, rupanya nilai-nilai pendidikan seperti dipaparkan di atas pun akhirnya kurang mendapat perhatian hampir semua pihak. Hari Pendidikan Nasional hanyalah menjadikan arena seremonial tanpa adanya penghayatan yang mendalam dan sungguh-sungguh. Ditambah lagi iklim global yang kian derasnya memasuki ruang dan wilayah negeri ini telah menjadikan manusia ikut serta terpengaruh oleh nilai budaya asing yang melekat di dalamnya.
Sehubungan hal tersebut, jangan heran kalau sekian tahun kedepan, event-event ditekankan pada pemenuhan kepentingan dangkal yang lebih bersifat hedonis, snobis yang pada akhirnya memunculkan kisis pendidikan nasional. Saat ini banyak sekali angkatan kerja yang terpaksa menganggur, namun dari sisi penyedia kerja, perusahaan-perusahaan yang ada saat ini justru menyuarakan sulitnya mencari calon karyawan yang berkualitas. Ini sebagai salah satu contoh gejala yang seharusnya menjadikan tantangan yang dapat dijawab dengan program pendidikan yang mumpuni. Dan program ini tak pernah ada atau bahkan dilaksanakan dengan baik jika masyarakat dan pemerintah, jauh didalam lubuk hatinya tidak memandang sebelah mata pun ke pada program pendidikan. Hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditi untuk “dijual” saat kampanye pemilihan umum hendak berlangsung. Biaya yang dikeluarkan untuk itu pun tidak akan sebesar harga yang harus kita keluarkan untuk membangun berbagai macam produk konsumtif seperti yang terjadi selama ini.
Dalam memperingati hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini ada satu hal mendasar yang harus dibangkitkan kembali di sanubari masyarakat dan pemerintah kita. Pentingnya perencanaan ataupun program pendidikan yang memadai. Sepanjang hal ini belum disadari, apapun yang akan dilakukan menjadi percuma dan sia-sia karena fondasi yang menjadi dasar tidak kita miliki. Dan sepanjang hal mendasar ini tidak cepat-cepat diperbaiki, jangan heran pula kalau suatu saat nanti event-event dilaksanakan di republik ini untuk menanggulangi “Krisis Pendidikan Nasional”. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja ....
________

Tidak ada komentar: