Rabu, 06 Agustus 2008

Selera Berbusana






Busana memiliki tugas penting dalam menimbulkan kesan. Orang yang berbusana
sesuai dengan struktur tubuh mereka nampak lebih menarik. Penampilan fisik
seseorang dan busana yang dikenakan membuat dampak pasti pada proses komunikasi.
Kita semua berbusana dan mungkin banyak diantara kita tak terlalu memperhatikan,
namun hal kecil ini memiliki peran untuk sebuah efektif. Jika kita memperhatikan
bagaimana cara berbusana, hal itu akan memperbaiki kemampun komunikasi kita.
(erl)

Ekspresi Wajah



Wajah merupakan cermin kepribadian individual. Ekspresi wajah mengungkapkan
pikiran yang sedang melintas pada diri seseorang. Sebagi contoh: sebuah senyum
mengungkap keramah-tamahan dan kasih-sayang;Mengangkat alis mata menunjukan
ekpresi heran; Mengernyitkan dahi menyampaikan ketakutan dan kegelisahan. Semua
emosi dan berbagai macam tingkah manusia diekspresikan dalam emosi yang berbeda
yang tergambar di wajah. Jadi saat melakukan komunikasi tunjukan ekspresi bahwa
Anda tertarik dengan bahan pembicaraan.

Kontak Mata



Hal pertama yang dilakukan seorang pembicara yang baik adalah menatap lawan
bicara dan mengambil jeda untuk memulai sebuah pembicaraan. Ini merupakan salah
satu cara yang membantu untuk menciptakan kesan baik pada lawan bicara. Usahakan
mempertahankan kontak mata sepanjang pembicaraan, agar lawan bicara Anda tak
merasa diabaikan.

Selasa, 05 Agustus 2008

MEMBANGUN KOMUNIKASI EFEKTIF


Sebagai makluk sosial komunikasi merupakan hal yang paling
dekat dengan kita. Apa sih sebenarnya komunikasi itu? Komunikasi dapat kita
artikan sebagai berbagi pikiran, informasi dan intelijen. Segala bentuk
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan menyampaikan pesannya pada
orang lain merupakan tujuan komunikasi. Lalu jika pesan yang kita maksudkan
tersebut tidak sesuai dengan penangkapan lawan bicara kita, terjadilah
mis-komunikasi, Nah, sebuah komunikasi yang efektif membutuhkan kejernihan
pesan, kelengkapan pesan, ekspresi wajah, kontak mata, postur tubuh, dan
penampilan fisik secara eksternal.
Di era modern ini mungkin nampak 'tolol' melihat seseorang berusaha menciptakan
kesadaran komunikasi. Banyak di antara kita memberi sedikit perhatian pada hal
ini tetapi kenyataanya komunikasi ini terus berlangsung, tak peduli siapa anda,
jika anda tidak bisa berkomunikasi dengan semestinya maka tak seorangpun akan
mendengarkan Anda. Jadi komunikasi merupakan sebuah asset penting sebagai
tambahan untuk kepribadian Anda. Bagiamana membangun sebuah komunikasi efektif
tersebut, berikut beberapa hal yang sebaiknya jadi pertimbangan untuk
dikembangkan:

Kebangkitan insan pariwisata Jogja-Jateng



Dalam rangka mengenang musibah gempa bumi di JOGJA dan JATENG yang terjadi pada 27 Mei 2006 lalu, seluruh insan pariwisata di JOGJA akan menyelenggarakan kegiatan solidaritas bersama dengan tema: "KEBANGKITAN INSAN PARIWISATA JOGJA - JATENG".

JOGJA adalah kota tujuan wisata di Indonesia setelah Bali. Musibah gempa bumi yang mengguncang JOGJA tanggal 27 Mei 2006 lalu membuat beberapa obyek wisata kebanggaan di JOGJA mengalami kerusakan. Aktifitas dan kegiatan pariwisata di JOGJA dan JATENG menjadi lesu setelah kejadian tersebut, ini dikarenakan rusaknya beberapa obyek wisata sehingga membuat para wisatawan enggan datang hingga beberapa bulan setelah gempa.

Kini, kondisi kepariwisataan di JOGJA mulai normal kembali. Beberapa indikasi yang mampu menggambarkan pulihnya kondisi pariwisata Yogyakarta antara lain adalah stabilnya jumlah penumpang yang datang melalui Bandara Adisucipto, tingkat hunian hotel-hotel berbintang di Yogyakarta serta tetap datangnya wisatawan lokal dan wisataman mancanegara ke beberapa obyek wisata di Yogyakarta khususnya pada pada masa liburan.

Bangkitnya aktivitas kepariwisataan JOGJA merupakan tanggung jawab seluruh insan pariwisata di JOGJA, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya promosi yang gencar yang merupakan langkah berikutnya untuk menegaskan kepada wisatawan lokal maupun mancanegara bahwa aktifitas kepariwisataan di JOGJA dan JATENG telah bangkit, dan JOGJA dan JATENG layak untuk dikunjungi kembali.

Selain itu, faktor keamanan juga merupakan hal yang tak bisa diabaikan dalam upaya pemulihan kondisi kepariwisataan di JOGJA dan JATENG, yang nantinya untuk mengembalikan citra dan meyakinkan kepercayaan terhadap wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara

Dalam rangka mengenang musibah gempa bumi di JOGJA dan JATENG yang terjadi pada 27 Mei 2006 lalu, seluruh insan pariwisata di JOGJA akan menyelenggarakan kegiatan solidaritas bersama dengan tema : "KEBANGKITAN INSAN PARIWISATA JOGJA - JATENG".

Kegiatan yang akan dilakukan nantinya adalah dengan memberi souvenir dan merchandise kepada wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara yang tiba di JOGJA melalui Bandara Adisutjipto Yogyakarta pada hari Minggu tanggal 27 Mei 2007 mulai dari pukul 09.00 - 15.00. Kegiatan-kegiatan ini sebagai ungkapan simbolisasi bahwa semua insan pariwisata di JOGJA dan JATENG telah siap menerima kunjungan wisatawan kembali, dan apa yang dilakukan ini merupakan upaya dalam rangka pemulihan citra kepariwisataan JOGJA dan JATENG.

Dalam penyampaian souvenir dan merchandise yang dilakukan di Bandara Adisutjipto Yogyakarta nanti, akan melibatkan staf dan karyawan beberapa hotel berbintang di JOGJA, juga akan ada persembahan seni budaya untuk menyambut kedatangan wisatawan. Penyampaian souvenir dilakukan pada setiap flight kedatangan di Bandara Adisutjipto.

Dalam press conference ini nantinya akan mengundang jurnalis dari media cetak lokal dan nasional, jurnalis media TV lokal dan TV nasional dimana akan disampaikan statemen-statemen berkaitan dengan pulihnya aktifitas kepariwisataan JOGJA, sehingga JOGJA telah layak untuk dikunjungi kembali.

Dunia Informasi dan Teknologi dibidang Pendidikan antara Kota dan Desa



Perkembangan pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat dibarengi dengan kemajuan teknologi Informasi dan teknologi dibidang komunikasi,untuk itu apa yang pernah digagas Pemerintah DIY tentang Cyber Provincy atau yang sering disebut proram CDMA untuk dikembangkan sebagai model untuk menjembatani ketimpangan perangkat keras yang ada antara pedesaan dan perkotaan tentunya ini sangat menunjang perkembangan model untuk pendidikan antara yang di kota dan di desa yang terkait dengan system jaringan korelasi yang sangat baik untuk menghindari kesenjangan antara pelajar dikota dan pelajar di pedesaan.
Permasalahan yang dihadapi tentunya tidak ringan banyak factor yang harus dihadapi oleh setiap daerah terutama perangkat keras yang harus dipersiapkan seperti jaringan Telepon/Internet yang harus perlu diadakan,tentu hal seperti ini juga menyangkut dana yang harus dianggarkan tetapi ini semua sesungguhnya dapat diatur kalau kita dapat disiplin dalam mengatur Anggaran di bidang Pendidikan,sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 alinia ke IV yang menyatakan Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa .Jadi tidak salah kalau UU Pendidikan yang menyatakan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN, ini salah satu cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dan mengacu kepada rasa keadilan antara mutu pendidikan di perkotaan dan kabupaten, supaya tidak ketinggalan jauh dari negara tetangga,sekarang bisa kita lihat dari penguasaan teknologi informasi antara siswa lulusan kota dengan pedesaan akan sangat keliatan terutama di bidang penguasaan atau penggunaan computer tidak semua siswa di pedesaan mampu mengoperasionalkan ,orang desa akan gaptek dengan begitu pesat perkembangan teknologi informatika.
Dengan kemampuan yang sangat jauh ini tentu akan sulit untuk berkompetensi dalam hal mencari pekerjaan dan apabila mereka akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tingi tentu kalah bersaing dengan masyarakat kota yang lebih banyak tahu tentang dunia IT.
Tujuan yang sangat mulia ini tentunya harus ditangapi dengan serius oleh kalangan pendidikan dan bagaimana caranya untuk dapat mengegoalkan anggaran pendidikan yang diajukan oleh DPR sebesar 20 persen. Pemerintah tentunya dengan secara tulus untuk dapat menerima pengajuan dari DPR bagaimana caranya untuk menekan kebocoran anggaran.Persoalan pokok yang dihadapi bangsa kita adalah factor geografis atau Negara kepulauan tentunya dengan penguasaan teknologi informatika ini akan dapat ditekan .Perlunya kita bangsa Indonesia menyadari untuk meningkatkan SDM ini perlu dibayar dengan mahal supaya kita dapat mampu bersaing dengan luar.
Paradigma pendidikan
Meski pemerintah harus bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional, pihak yang paling tahu tentang mutu dan kemampuan anak didik adalah pendidik. Dengan demikian, tugas dan hak pendidiklah untuk memberi penilaian. Penetapan standar nasional untuk kelulusan mengandaikan mutu pendidikan di tiap daerah sama. Kenyataannya, masih ada jurang perbedaan antara proses pendidikan di kota dan desa, bahkan antarprovinsi dan pulau.
Penetapan batas minimal kelulusan 4,5 memberi gambaran, pemerintah memandang proses pendidikan hanya sebagai transfer ilmu pengetahuan yang bisa mudah diukur dengan angka. Penetapan itu mereduksi makna pendidikan sebagai sebuah proses pematangan pribadi mencakup pengembangan, kognisi, afeksi, mental, dan kepribadian.
John Dewey dalam buku Education and Democracy (1916) telah mendengungkan konsep pendidikan integral berdasarkan pada kemampuan, kebutuhan, dan pengalaman peserta didik. Pendidikan yang berbasis realitas dan pengalaman anak didik sebenarnya bentuk perlawanan dan kritik pada pola-pola pendidikan tradisional yang hanya memindahkan ilmu pengetahuan masa lampau kepada tiap generasi baru.
Pendidikan tidak dimaksud sekadar mencetak orang yang pandai menghafal dan berhitung, tetapi melahirkan orang-orang berpribadi matang. Pendidikan tidak hanya tempat mengasah ketajaman otak, tetapi tempat menyemai nilai-nilai dasar kehidupan guna menggapai masa depan dan hidup bermasyarakat. Bangsa Indonesia amat membutuhkan sistem pendidikan seperti itu, terutama untuk melahirkan generasi muda yang tangguh dan bertanggung jawab, dan mampu memperbaiki kehidupan bangsa ini.
Maka, kengototan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian dengan standar nasional, hanya karena ingin mendorong peserta didik bekerja keras, tidak akan memberi dampak positif berkelanjutan bagi kematangan dan kemandirian peserta didik. Bahkan standar itu tidak representatif sebagai titik acuan untuk mengetahui kualitas pendidikan bangsa ini. Sementara revisi pasal-pasal PP No 19/2005, sebagaimana didesakkan DPR, tidak akan berarti bila tidak ada pembaruan dan rekonstruksi terhadap paradigma pendidikan.
Tugas pemerintah
Dalam konteks pendidikan holistik, pemerintah tidak perlu mengambil alih peran pendidik dengan menetapkan standar pendidikan sebab pemerintah tidak berhubungan langsung dengan peserta didik. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan sistem pendidikan yang efektif, integral, dan mengembangkan pendidik maupun peserta didik.
Pertama, pemerataan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Di banyak daerah sarana dan prasarana pendidikan amat memprihatinkan. Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, banyak gedung sekolah tak layak pakai, dan penggemblengan mental pengabdian pendidik, merupakan pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan pemerintah. Amat tidak masuk akal bila pemerintah tiba-tiba menetapkan standar kelulusan secara nasional, sementara pembangunan dan pemajuan pendidikan masih amat parsial.
Kedua, perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan ini amat memungkinkan pihak sekolah untuk bereksplorasi, baik dalam program maupun kurikulum yang benar-benar kontekstual, yaitu berdasarkan pada kebutuhan anak didik dan menyatu dengan budaya dan karakter setempat. Jadi standar penilaian terletak pada tingkat penambahan pengetahuan serta pengembangan kepribadian, seperti menghargai orang lain, menghormati perbedaan, kedisiplinan, serta bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
Ketiga, proses pendidikan yang holistik juga menuntut adanya budaya belajar di kalangan masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam pendidikan formal belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ritme kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan proses pendidikan melalui nilai- nilai dan strukturnya. Sebaliknya pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan masyarakat. Membangun budaya membaca di masyarakat bisa dijadikan titik berangkat untuk membangun budaya belajar ini.
Namun usaha-usaha dari anak-anak bangsa juga terus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dalam hal penyampaian proses pendidikan dengan penggunaan IT. Semisalnya, baru-baru ini Telkom, Indosat, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan IT untuk pendidikan di Indonesia, dimulai dengan proyek-proyek percontohan. Telkom menyatakan akan terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas infrastruktur jaringan telekomunikasi yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung (backbone) bagi pengembangan danpenerapan IT untuk pendidikan serta implementasi-implementasi lainnya di Indonesia. Bahkan, saat ini Telkom mulai mengembangkan teknologi yang memanfaatkan ISDN (Integrated Sevices Digital Network) untuk memfasilitasi penyelenggaraan konferensi jarak jauh (teleconference) sebagai salah satu aplikasi pembelajaran jarak jauh.
Banyak aspek dapat diajukan untuk dijadikan sebagai alasan-alasan untuk mendukung pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Salah satu aspeknya ialah kondisi geografis Indonesia dengan sekian banyaknya pulau yang terpencar-pencar dan kontur permukaan buminya yang seringkali tidak bersahabat, biasanya diajukan untuk menjagokan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan. IT sangat mampu dan dijagokan agar menjadi fasilitator utama untuk meratakan pendidikan di bumi Nusantara, sebab IT yang mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauhnya tidak terpisah oleh ruang, jarak dan waktu. Demi penggapaian daerah-daerah yang sulit tentunya diharapkan penerapan ini agar dilakukan sesegera mungkin di Indonesia.

Ibu Negara Republik Indonesia Hj. Ani Bambang Yudhoyono




Kristiani Herrawati Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih dikenal dengan Ibu Ani Bambang Yudhoyono adalah Ibu Negara ke enam Republik Indonesia sejak suaminya Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pertama pilihan rakyat pada tanggal 20 Oktober 2004.
Lahir di Yogyakarta, 6 Juli 1952 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan suami istri Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Alm) dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah. Beliau menikah dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Juli 1976, waktu Pak SBY baru saja dilantik menjadi Perwira TNI dan menjadi lulusan terbaik. Pernikahan Ibu Ani dan Pak SBY ini tergolong unik. Pernikahan itu berlangsung bersamaan dengan pernikahan kakaknya, Wrahasti Cendrawasih dengan Erwin Sudjono, dan adiknya Mastuti Rahayu dengan Hadi Utomo. Keduanya ini juga perwira TNI yang juga baru lulus.
Selain sebagai Ibu dari seluruh anak-anak Indonesia, Ibu Ani Bambang Yudhoyono adalah ibu dari dua putra, Letnan Satu Agus Harimurti Yudhoyono (menikah dengan Annisa Larasati Pohan tahun 2005 lalu) yang sekarang sedang sekolah bidang Strategic Studies di Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan Curtin University of Technology, Perth - West Australia dengan dua gelar kesarjanaan Bachelor of Commerce Finance dan Electronic Commerce).
Bagi banyak orang yang mengenal beliau , Ibu Ani Bambang Yudhoyono adalah wanita yang sangat cerdas dan lugas. Sempat menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Kristen Indonesia, tetapi pada tahun ketiga memutuskan meninggalkan sekolah dan menikah dengan Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 1976. Tetapi dengan semangat "It's never too late to learn", Ibu Ani melanjutkan kuliahnya di Universitas Merdeka dan lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Politik di tahun 1998.
Sederetan aktifitas di bidang politik dan sosial sudah pernah dijalaninya. Ibu Ani pernah memegang jabatan politik sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat dan sangat aktif selama kampanye pemilihan presiden di tahun 2004 lalu, dimana Pak SBY dipilih rakyat secara langsung untuk jadi Presiden RI.. Beliau juga aktif dalam kegiatan sosial di Persit Kartika Chandra Kirana (Persatuan Istri Tentara), Dharma Pertiwi, dan Dharma Wanita selama Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada era Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan era Pemerintahan Megawati.
Segera setelah menjadi Ibu Negara, Ibu Ani langsung memberikan perhatian serius pada persoalan-persoalan pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan perempuan. Beliau berada di depan pada kampanye imunisasi polio, dan mempelopori Mobil Pintar, dimana anak-anak dapat belajar sambil bermain tanpa harus berjalan jauh dari rumahnya. Ketika bencana gempa bumi dan tsunami mendera NAD dan Nias, Ibu Ani segera mengorganisir bantuan untuk anak-anak yang kehilangan orang-tuanya. Beliau pula yang terdepan mengulurkan tangan ketika kelaparan menimpa warga Yahukimo di Papua.
Ibu Ani menyukai membaca dan berkebun terutama tanaman anggrek. Beliau sangat senang saat bisa membacakan cerita atau puisi kepada anak-anak. Dan menikmati menulis berbagai pengalaman dan pengamatan beliau tentang warga dan bangsanya.
Disela-sela kesibukan sebagai Istri Presiden, Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (7/2 pagi menyambut tamu-tamunya. Mereka adalah Pengurus Presidium Nasional Mitragender (Masyarakat Peduli Kesetaraan dan Keadilan Gender) di Ruang Raden Saleh, Istana Merdeka. Didampingi Ny. Widodo A.S, Ny. Okke Hatta Rajasa dan Dr. Surjadi Soeparman, Deputi Bidang Pengutamaan Gender Kementerian Negara Pemberdayaan Perembuan, Ibu Negara menerima 11 orang tamunya.
Dalam laporannya, Ketua Presidium Nasional Mitragender Sri Rejeki Sumaryoto,SH menjelaskan bahwa Mitragender adalah wadah untuk menggalang kemitraan, serta membangun satu kekuatan bersama pemerintah, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ditambahkan, keanggotaan Mitragender bukan hanya didominasi kaum perempuan, tapi juga kaum laki-laki karena pengertian gender itu sendiri mengacu kepada perempuan dan laki-laki, kata Sri Rejeki, mantan Meneg Pemberdayaan Perempuan pada kabinet Gotong Royong.
Ibu Negara kepada pengurus Mitragender antara lain mengatakan, kunci utama bagi kaum perempuan untuk dapat terbebas dari kesengsaraan adalah pendidikan. "Seperti dahulu Ibu Kartini berjuang dengan mendirikan sekolah-sekolah agar kaum perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang layak. "Perjuangan dalam menyetarakan gender bukan hanya tugas kaum perempuan saja tapi laki-laki juga harus memberikan kontribusi pada perjuangan perempuan itu," kata Ibu Negara.
Ibu Ani kemudian menceritakan keterkejutannya ketika suatu hari mendapatkan informasi bahwa Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia atau IWAPI ternyata tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP. "Padahal sebenarnya kan banyak pengusaha perempuan yang tidak berkeberatan untuk membayar pajak. Ini adalah contoh yang bagus, bahwa kaum perempuan juga sadar kalau mereka berpenghasilan, maka mereka juga harus membayar pajak," kata Ibu Ani.
Para pengurus Mitragender tak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika Ibu Negara bersedia menjadi Ketua Dewan Pembina untuk berjuang bersama-sama. Diharapkan, Mitragender bisa menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengimplementasikan kesetaraan dan keadilan gender bagi masyarakat Indonesia.
Sumber: http://www.presidenri.go.id/

Media Massa Tak Sensitif Gender


Banyaknya peristiwa dan perilaku kaum perempuan yang di eksploitasi oleh media massa, seperti perselingkuhan, aborsi, pembuangan mayat bayi, penjualan anak dan sebagainya berdampak pada hujatan panjang yang di tujukan terhadap kaum perempuan. Artikel mengenai buruknya perilaku perempuan yang adalah calon ibu marak di koran-koran baik nasional maupun lokal.
Dan biasanya, ketika perempuan yang dihujat, maka laki-lakilah yang menjadi penghujatnya. Media massa yang mengeksploitasi peristiwa tersebut rasanya telah memojokkan perempuan.
Dengan menarik perhatian publik untuk lebih memperhatikan cerita-cerita yang dibangun media yang lebih mengutamakan cerita kehidupan perempuan pelaku aborsi, klinik-klinik aborsi ilegal, dan bahkan yang tidak relevan sama sekali seperti cerita tentang siapa yang menemukan mayat bayi-bayi malang tersebut, dan bukannya mempertanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab atas keberadaan calon bayi tersebut, media telah dengan sewena-mena menyudutkan kaum perempuan.
Jika kita menilik figur angka pelaku media massa, ada suatu pembagian yang sangat tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan jumlah antara jurnalis perempuan dan laki-laki tentu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan kenapa media kita begitu membedakan jenis kelamin (seksis). Belum tentu jurnalis perempuan sudah memiliki perspektif gender dalam menurunkan tulisan dan menilai permasalahan social yang di hadapinya.
Ironisnya, jika media massa di satu sisi mempromosikan nilai-nilai “kesejajaran” antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain masih juga menjalankan praktek-praktek obsolit. Di satu sisi, sebagai agen dari propaganda adil gender, media massa memberikan aplaus pada slogan “peran ganda perempuan modern”, di sisi lain mereka menuntut perempuan, sebagai “lawan jenisnya”, untuk tetap tinggal “terdomestikasi” dengan meragukan kemampuan mereka untuk berkarya di dunia publik, tentu saja dengan menggunakan perspektif media massa yang maskulin.Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah nilai-nilai produksi dan pasar. Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah “hanya” memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola yang terus menerus, semakin mempertajam degredasi ranah publik-domestik. Hal ini tentu bukan hanya hasil patriomoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak.
Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama negara,
Tarik ulur antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Apakah mereka harus kehilangan hak-hak istimewa (privilege) yang sudah terlegitimasi hanya untuk satu posisi yang tidak jelas jika mereka harus memasuki dunia asing yang dinamakan ranah publik?
Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama “kaum perempuan” dan “kaum buruh”, berterimakasih kepada media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus itu dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih eksis, bagaimana jika Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini?
Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga, dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan “kematiannya” dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita, karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah “berita yang pantas dipublikasikan”. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri tentang perang gender yang tidak pernah berakhir. Tidak terelakkan juga analisa politik bahwa pembunuhan Marsinah ini adalah panggung cerita konflik antara laki-laki yang direpresentasikan oleh orang-orang yang berkuasa sebagai “pembunuh” dan perempuan diwakilkan oleh Marsinah sebagai “terbunuh”. Siapakah yang memenangkan kontes ini? Nampaknya justru media massa, peserta kontes yang tidak terdaftar, atau juri, yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk bagaimana cerita harus berakhir. Akhir cerita berubah menjadi kabur dan hanya media massa yang sadar akan substitusi antara apakah yang sesungguhnya (real) dan reproduksi dari yang sesungguhnya (hyper-real). Ketika cerita-cerita tentang buruh perempuan menampilkan nama-nama lain, media massa-lah yang melahirkan “reproduksi” dari sosok Marsinah.
Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naïf terbawa arus dan mempertahankan “hegemoni kultural” yang terus-menerus dan mendapatkan penghormatan sebagai “ratu rumah tangga”, atau sebaliknya bersikap radikal menghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label “pemberontak”. Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertonton kan pencapaian mereka dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi. Secara tidak sadar hal ini mempertahankan “ketergantungan terwariskan” pada perempuan terhadap laki-laki.
Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya. Diharapkan, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bias dipisahkan juga dari perilaku laki-laki. Namun, dengan melihat begitu banyaknya kejadian yang menimpa perempuan sepanjang tahun sejak kasus aborsi masal tersebut meledak, mulai dari kasus TKW sampai dengan pornografi, dan kecenderungan media massa untuk menampilkannya dalam berita dengan bahasa-bahasa dan analisa yang melecehkan dan tidak berpihak pada perempuan belum terlihat adanya upaya media massa memperjuangkan gender, jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap perempuan?
Maka, tidak heran, dalam budaya masyarakat patriarki agama diselewengkan. Coba lihat media elektronik dan film-film bioskop yang bertema horor-setan. Atau sinetron-sinetron "religi" di teve-teve, yang dibuka dan ditutup dengan ceramah rohani. Sang ustadz dan agamawan selalu laki-laki. Adapun Mak Lampir, pocong, kuntilanak, sundel bolong, hantu bangku kosong, suster ngesot, di perankan oleh perempuan. Ke manakah perginya Pak Lampir? Abah bolong? Mantri ngesot? Mengapa hantu-hantu itu selalu perempuan? Dan, mengapa sang pengusir hantu itu selalu laki-laki agamawan? Ini adalah produk-produk media massa yang didasari budaya patriarki; segalanya dilihat dari perspektif laki-laki.
Nasib Perempuan
Bila ada laki-laki pecandu narkoba, atau mantan perampok, yang bertobat, lantas menjadi ustadz, maka masyarakat menyambut hangat. Adakah sambutan yang sama diberikan pada mantan pelacur-nista, yang berbalik mendalami agama? Berita seperti ini rasanya jarang terdapat di media massa yang kemudian menjadi isu publik. Adakah masyarakat kita siap menerimanya? Bahkan contoh kasus yang masih hangat di liput media massa yaitu tertangkapnya actor kondang Roy Martin dalam kasus narkoba oleh Polda Metro Jaya, ternyata masayarakat masih bisa menerima tidak hanya itu pihak pemerintah pun juga bisa menerima, Hal itu juga tidak luput dari besarnya andil media pers terhadap kasus Roy Marten. Herannya lagi kasus serupa terjadi lagi pada saat Roy Marten mengkampanyekan anti narkoba bersama Jendral Pol Sutanto. Yang menjadi pertanyaan apakah hal serupa juga bisa diterima jika hal ini dilakukan oleh seorang perempuan ? Dan apakah media massa juga akan berlaku sama terhadap kasus tersebut dalam mengekspose maupun mengomentari kasus itu?
Sering kali kita sendiri yang menghalang-halangi saudari- saudari kita itu untuk kembali ke jalan suci. Dengan memakai standar ganda, "perempuan harus lebih bisa menahan diri dan lebih suci dari pada laki- laki". Pria berdosa ditoleransi karena "manusiawi". Namun, jika wanita berdosa dicaci maki, bahkan seringkali oleh kaum wanita sendiri. .Dosa kejatuhan Adam ke bumi dipersalahkan pada Hawa. "Memang perempuanlah penyebab bencana-kejatuhan", begitulah mereka punya pernyataan. Maka, tidaklah heran jika setan-setan dan hantu di film bioskop maupun sinetron teve kebanyakan perempuan.
Padahal, bukankah Adam juga tidak bisa menahan diri? Dan, menurut firman Tuhan dalam Al Quran, Adam dan Hawa justru sama-sama tidak dapat menahan diri (QS, 7:19-25

Teknologi Informasi Untuk Kaum Gender


Teknologi baru yang digunakan dalam bidang informasi dan komunikasi, terutama Internet telah membawa dunia masuk ke era baru. Ada pandangan utama yang mengatakan bahwa teknologi seperti itu tidak memiliki keterlibatan secara sosial, hanya secara teknis saja. Perubahan positif yang disebabkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, yang notabene berdampak secara dramatis, tidak menyentuh umat manusia keseluruhan. Hubungan-hubungan kekuasaan yang telah ada dalam masyarakat menentukan tingkat penggunaaan dan pengambilan keuntungan dari (TIK), karenanya teknologi ini tidak bersifat netral secara gender. Pertanyaan penting : siapa yang mengambil keuntungan dari TIK? Siapa yang mendikte keberadaaan dari TIK? Apakah mungkin keberadaan TIK dijumpai sehari-hari supaya dapat melayani tujuan yang lebih luas dari persamaan dan keadilan? Fokus dari hal ini adalah isu gender dan persamaan hak wanita untuk mengakses, menggunakan dan membentuk TIK.
Akses untuk TIK yang baru masih merupakan kenyataan yang jauh bagi sebagian besar orang. Negara-negara bagian selatan, khususnya di daerah pedesaan, secara nyata tertinggal jauh dari revolusi informasi, ditandai dengan tidak adanya infrastuktur dasar, biaya yang tinggi untuk pengadaan TIK, ketidaktahuan mengenai TIK, dominasi dari bahasa Inggris dalam isi Internet, kurangnya demonstrasi keuntungan TIK untuk menjawab tantangan pembangunan level bawah. Penghalang-penghalang ini bahkan menjadi masalah yang lebih besar bagi kaum wanita, yang secara umum: buta huruf, tidak mengerti bahasa Inggris dan kurangnya kesempatan untuk mendapat pelatihan keterampilan komputer. Tanggung jawab domestik, pembatasan budaya untuk perpindahan, kurang kuatnya kekuatan ekonomi sejalan dengan kurangnya relevansi kepuasan dalam hidup mereka, lebih jauh membuat mereka termarginalisasi dari sektor informasi.
Bidang TIK ditandai dengan kontrol strategis yang dilakukan oleh perusahaan kuat dan oleh negara-negara kuat. Monopoli yang dibangun berdasarkan rezim kepemilikan intelektual, bertambahnya pengawasan Internet dan pengurangan keberadaan isi demokratisnya dan ekploitasi kaum lemah yang dilakukan imperialisme kapitalis, rasisme dan perbedaan gender (sexism). Dalam bidang TIK, wanita relatif memiliki kepemilikan dan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan, karena tidak terwakilkan dalam sektor privat dan pemerintahan yang mengontrol bidang ini.
TIK telah membawa keuntungan kepegawaian termasuk bagi wanita. Akan tetapi pemisahan gender yang direproduksi dalam ekonomi informasi di mana pria memegang mayoritas kaum yang memiliki keterampilan tinggi, menguasai pekerjaan yang bernilai tambah, di mana wanita terkonsentrasi pada pekerjaan keterampilan rendah dan bernilai rendah. Pekerjaan di call centre mengabadikan pekerjaan wanita dan organisasi dalam sektor teknologi informasi , seperti sektor lainnya, menghargai prilaku yang dikatakan maskulin.
Beberapa organisasi dan kelompok masyarakat mengikutsertakan isu yang berkaitan dengan demokrasi di bidang TIK dari pembagian digital dan hak untuk berkomunikasi, sampai keragaman budaya dan hak kepemilikan intelektual. Pendukung persamaan gender telah didesak untuk memperhatikan dimensi gender masyarakat informasi: mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan dan strategi nasional TIK, menyediakan isi yang relevan bagi wanita, mempromosikan partisipasi ekonomi kaum wanita dalam ekonomi informasi, dan membuat aturan untuk melawan pornografi wanita dan anak-anak yang ada di Internet. The World Summit in the Information Society / Pertemuan Puncak Masyarakat Informasi Dunia (WSIS) yang dilakukan di Genewa pada bulan Desember 2003, membawa berbagai pelaku dalam bidang TIK untuk memperhatikan tantangan dan kemungkinan TIK , meskipun dengan berbagai hasil dan pandangan.
TIK juga telah digunakan oleh kebanyakan sebagai alat untuk transformasi sosial dan persamaan gender. Sebagai contoh :
· E-Commerce (perdagangan yang dilakukan secara elektronik dengan bantuan Internet) merupakan langkah awal yang dicoba sekarang ini di berbagai tempat oleh NGO (Non Government Organization / Organisasi Non Pemerintah) untuk menghubungkan para wanita ahli secara langsung ke pasar global melalui Internet, dan juga mendukung aktivitas mereka dengan informasi produksi dan pasar
· Program e-governance / pemerintahan melalui media elektronik telah dicoba oleh beberapa pemerintah menggunakan TIK untuk membuat pelayanan pemerintahan dapat lebih luas dijangkau oleh warga masyarakat. Dalam beberapa kasus disertai dengan strategi eksplisit untuk memastikan bahwa pelayanan ini menjangkau kaum wanita dan lainnya yang menghadapi halangan untuk mengakses layanan pemerintahan.
· Para pendidik kesehatan telah menggunakan sarana radio untuk mengkomunikasikan informasi yang berhubungan dengan kesehatan seks dan reproduksi. Kemungkinan komunikasi melalui sarana Internet juga sedang digali.
· Berbagi informasi dan dialog melalui sarana email, newsletter dan catatan online antara wanita dari belahan Utara dan Selatan dan di antara para wanita di bagian Selatan itu sendiri telah memungkinkan kolaborasi dan pemfokusan usaha dalam skala global untuk mendorong agenda dari persamaan gender.
Aktivitas-aktivitas tersebut telah sangat efektif di mana hal itu dapat dilakukan di atas isu keterbatasan akses dan infrasruktur untuk memandang konteks sosial yang lebih besar dan hubungan kekuasaan yang lebih besar. Tingkat efektivitas dan keterjangkauan telah diperkaya dengan kombinasi teknologi lama seperti radio dengan teknologi baru seperti Internet.
Perubahan yang lebih jauh bagi persamaan gender dan pemberdayaan wanita di bidang TIK sangat perlu menjangkau di semua level – internasional, nasional dan program. Persamaan gender di bidang TIK tidak selalu berarti penggunaan TIK yang lebih luas di kalangan wanita. Persamaan itu lebih ke arah transformasi sistem TIK. Hal ini melibatkan :
· Pemerintahan yang membangun kebijakan TIK dengan perspektif gender yang kuat dan berkaitan dengan masyarakat sipil, gender dan ahli TIK.
· Forum internasional seperti WSIS digunakan untuk menantang dominasi utara dan dominasi perusahaan di bidang TIK.
· Strategi gender yang jelas dibangun melalui desain , implementasi dan evaluasi dari proyek dan program TIK
· Pengumpulan informasi dengan statistik sex-disagregasi dan indikator gender berkaitan dengan akses, isi dan penggunaan TIK dalam hal kepegawaian dan pendidikan.
· Pertimbangan isu gender dalam : kebijakan TIK/telekomunikasi, perwakilan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan telekomunikasi / TIK dan tingkat perbedaan dampak dari telekomunikasi / TIK antara pria dan wanita.

Harga Sebuah Pendidikan dan Sikap Konsumtif

Seorang kawan datang dengan mobil barunya, dengan senyum sumringah berkata,”Harga memang nggak pernah bohong ya ....” Menepuk-nepuk mobil barunya itu, sebuah sedan kelas menengah dan bercerita panjang lebar mengenai kecanggihannya. Didalamnya bertebaran CD lagu, baik yang WMA maupun MP3 (bajakan tentunya). Semakin memukau mobil itu karena di lengkapi juga dengan sebuah DVD player dan TV kecil (sayang DVD-nya bajakan juga). CD dan DVD itu sendiri masing-masing berjumlah satu box kecil berukuran kira-kira 20X20 cm, jumlah yang cukup banyak untuk CD dan DVD yang dimuat tanpa box (namanya juga bajakan).
Orang seperti kawan saya itu tidak hanya satu di republik ini. Banyak sekali. Begitu royalnya dengan rupa-rupa barang dan gaya hidup, tapi herannya selalu memandang pendidikan sebagai suatu hal yang mahal. Warisan kolonialisme yang paling berbekas pada masyarakat kita memang sifat materialistis yang turun-temurun. Tidak heran, oleh banyak politisi (terutama di era pemilihan langsung untuk kepala daerah seperti sekarang) issu “pendidikan gratis” selalu menjadi sebuah “jurus pamungkas” untuk memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah (mungkin nanti berulang lagi di pemilihan presiden, siapa tahu). Karena masyarakat kita sebenarnya memandang pendidikan sebelah mata. Masyarakat kita lebih suka beli VCD dan DVD bajakan ketimbang bayar iuran sekolah. Masyarakat kita lebih menyukai mendirikan mal-mal yang bagus ketimbang merenovasi sekolah. Pendidikan bukan lagi sebuah hal yang prioritas. Seorang selebriti di sebuah infotainment yang menjamur di TV bisa dengan santainya mengatakan kalau dia tidak akan melanjutkan kuliah karena kesibukannya shooting dan segala macam aktivitas keartisannya.
Entah apa yang terjadi dengan republik ini sebenarnya, sebuah negara yang memiliki founding fathers yang mengutamakan pendidikan, yang mengupayakan peningkatan kecerdasan bangsanya agar mampu bangkit dari kolonialisme, setelah sekian dekade merdeka malah cenderung konsumtif dan tidak memperdulikan pendidikan. Pendidikan dianggap sesuatu yang membebani, hanya menjadi urusan pemerintah dan segala macam predikat yang menjadikan pendidikan dan berprestasi dibidang pendidikan hanya sesuatu yang “biasa-biasa” saja.
Entah apa yang terjadi (pula) dan berkembang selama republik ini merdeka, semakin lama cenderung konsumtif dan menginginkan segala sesuatunya serba instan. Pemenang sebuah kontes ‘reality show’ lebih dikenal oleh masyarakat ketimbang anak-anak peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat dunia. Dan berbondong-bondong orang yang menginginkan menjadi peserta reality show tersebut ketimbang mengikuti program pelatihan Fisika ala Johanes Surya. Padahal program reality show tersebut hanya akan mengorbankan jenjang pendidikan pesertanya.
Sektor pendidikan adalah sebuah investasi. Investasi yang panjang dan tidak berkesudahan bagi suatu bangsa. Walaupun terlihat lambat, investasi itu akan berbuah manis untuk bangsa yang menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Jangan lupa, bahkan negara sebesar Amerika Serikat saat ini masih meributkan banyaknya remaja disana yang putus sekolah, adakah pemerintah kita memikirkan banyaknya penduduk kita yang masih buta huruf .... ??
Kalau kita menengok sejarah pendidikan di negeri ini, tentu tidak terlepas dari jasa pahlawan pendidikan kita yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang dengan semangat pantang menyerah berupaya membangkitkan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Melalu ajarannya yang terdiri tiga kalimat penuh makna yaitu: Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), Ing madyo mangun karso (di tengah membangun karya), Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Tiga kalimat dari ajaran seorang ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang juga disebut Ki Hadjar Dewantara kemudian pelopor Perguruan Taman Siswa ini diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei (1889) diabadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1959.
Ternyata beliau tidak hanya dalam bidang pendidikan nasional berkiprah. Ki Hadjar Dewantara pun sebelumnya aktif dalam masa pergerakan nasional di dalam organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Indische Parti pada tahun 1912. Sebuah momen yang kita kenal menjadi Kebangkitan Nasional, dirayakan setiap 20 Mei. Bahkan pada tahun 1913 beliau secara politik aktif dalam menentang Perayaan Seratus Tahun Belanda dari Prancis melalui Komite Bumiputra. Ditentangnya perayaan tersebut adalah karena pihak Belanda memeras rakyat untuk kepentingan perayaan tersebut. Salah satu ucapannya yang ditulis dalam koran Douwes Dekker de Express adalah bertajuk Als Ik Eens Nederlander Was –Seandainya Aku Seorang Belanda.
Dalam tulisan tersebut dikisahkan: “aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat tulisan tersebut beliau dibuang tanpa proses pengadilan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg, namun atas tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda.Dan sepulang dari pengasingan di Belanda –yang beliau gunakan juga untuk memperdalam ilmu– ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa –Perguruan Nasional Tamansiswa– pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Dalam kaitannya dengan konteks pendidikan masa kini lantas apa gerangan yang terjadi? Amat menyedihkan ketika dunia pendidikan di negeri ini sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Termasuk masyarakat pun kurang dapat mengambil hikmah dari sejarah perjuangan pendidikan yang telah dirintis dengan susah payah oleh Ki Hadjar Dewantara guna mencerdaskan bangsa. Sedangkan pada sisi lain, para pengambil kebijakan di sektor pendidikan nampaknya pun lebih memilih langkah privatisasi sehingga implikasi dari pilihan tersebut menyebabkan banyak warga negara yang tidak bisa mengenyam sekolah dikarenakan ongkos atau biayanya relatif mahal.
Seiring perkembangan zaman dengan berbagai infiltrasi budaya asing masuk ke negeri ini, rupanya nilai-nilai pendidikan seperti dipaparkan di atas pun akhirnya kurang mendapat perhatian hampir semua pihak. Hari Pendidikan Nasional hanyalah menjadikan arena seremonial tanpa adanya penghayatan yang mendalam dan sungguh-sungguh. Ditambah lagi iklim global yang kian derasnya memasuki ruang dan wilayah negeri ini telah menjadikan manusia ikut serta terpengaruh oleh nilai budaya asing yang melekat di dalamnya.
Sehubungan hal tersebut, jangan heran kalau sekian tahun kedepan, event-event ditekankan pada pemenuhan kepentingan dangkal yang lebih bersifat hedonis, snobis yang pada akhirnya memunculkan kisis pendidikan nasional. Saat ini banyak sekali angkatan kerja yang terpaksa menganggur, namun dari sisi penyedia kerja, perusahaan-perusahaan yang ada saat ini justru menyuarakan sulitnya mencari calon karyawan yang berkualitas. Ini sebagai salah satu contoh gejala yang seharusnya menjadikan tantangan yang dapat dijawab dengan program pendidikan yang mumpuni. Dan program ini tak pernah ada atau bahkan dilaksanakan dengan baik jika masyarakat dan pemerintah, jauh didalam lubuk hatinya tidak memandang sebelah mata pun ke pada program pendidikan. Hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditi untuk “dijual” saat kampanye pemilihan umum hendak berlangsung. Biaya yang dikeluarkan untuk itu pun tidak akan sebesar harga yang harus kita keluarkan untuk membangun berbagai macam produk konsumtif seperti yang terjadi selama ini.
Dalam memperingati hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini ada satu hal mendasar yang harus dibangkitkan kembali di sanubari masyarakat dan pemerintah kita. Pentingnya perencanaan ataupun program pendidikan yang memadai. Sepanjang hal ini belum disadari, apapun yang akan dilakukan menjadi percuma dan sia-sia karena fondasi yang menjadi dasar tidak kita miliki. Dan sepanjang hal mendasar ini tidak cepat-cepat diperbaiki, jangan heran pula kalau suatu saat nanti event-event dilaksanakan di republik ini untuk menanggulangi “Krisis Pendidikan Nasional”. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja ....
________

Senin, 04 Agustus 2008

SEMINAR SEHARI


Panitia HUT MMTC ke 23 menyelenggarakan seminar sehari dengan judul “Peranan ICT Pada Pengembangan Program Media Elektronika” yang diadakan pada hari kamis,17 Juli 2008 bertemapt di auditorium STMM “MMTC” jalan Magelang km.6 Yogyakarta.

Dalam seminar tersebut Dr.Hermin Indah Wahyuni,M.Si. Dosen UGM membawakan materi “Perspektif Sosial dan Politik Pengembangan Program Media yang Berbasis ICT”

Dr. Hermin Indah Wahyuni, M.Si, mengatakan bahwa program media masa pada saat ini serangakian revolusi konvergensi merupakan ciri yang tak terbantahkan dan mendorong secara positif perkembangan industri media masa. Teknologi televisi kabel, ISDN, digitalisasi, penyiaran via satelit langsungataupun juga keberadaan mobile phone memungkinkan akses menciptakan situasi percepatan atau akselerasi informasi yang tak terbendung baik ditingkat nasional maupun global.


Lebih jauh Hermin Indah Wahyuni mengatakan perkembangan ICT dapat diarahkan pada pengembangan potensi masyarakat secara keseluruhan melalui serangkaian keterlibatan seluruh aktor (Negara, pasar atau masyarakat secara keseluruhan)

Ada tiga wacana dominan yang selalu mewarnai pembicaraan dalam pengembangan ICT pada media:
Determinisme teknologi
Demokrasi teknologi
Nasionalisme teknologi

Dalam seminar sehari tersebut di hadiri oleh ketua pelaksana yang sekaligus Kepala MMTC Yogyakarta, Bapak Henry Subiakto Staf ahli Menteri Bidang Media Masa para pejabat struktural di lingkungan MMTC, serta karyawan dan mahasiswa.

KAJIAN SINGKAT TENTANG KENAIKAN BBM JUNI 2008


Beberapa waktu lalu Presiden SBY baru saja mengumumkan kebijakan baru pemerintah yang akan segera diterapkan mulai Juni 2008, yaitu menaikkan harga BBM. Kenaikan ini berkisar antara 30% dari harga sebelumnya dan hanya dikenakan untuk kendaraan pribadi dan para pengecer dengan menggunakan kartu kendali, sedangkan kendaraan umum akan tetap menikmati harga awal agar kenaikan harga ini tidak akan memicu naiknya harga barang–barang pokok dan tidak memberatkan rakyat kecil. Walaupun begitu, kebijakan kontroversial ini langsung mengundang reaksi keras dari masyarakat mengingat kenaikan BBM tahun 2001-2002 silam masih menyisakan dampak buruk bagi masyarakat maupun laju perekonomian. Mereka khawatir kebijakan lain untuk meredam timbulnya dampak yang lebih buruk seperti pengklasifikasian pengguna BBM tidak berjalan dengan semestinya sehingga akhirnya tetap masyarakat kecillah yang akan menanggung akibatnya.

Dari segi ekonomi, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM didasari oleh merangkaknya harga minyak mentah dunia yang sudah menyentuh nilai US$ 120 per barel. Hal ini semakin diberatkan dengan jumlah konsumsi BBM oleh masyarakat dan negara yang cenderung meningkat tiap tahunnya. Subsidi harga BBM yang selama ini dilakukan hanya sekitar satu persen yang bisa dinikmati oleh rakyat kecil dan sisanya dinikmati oleh golongan menengah ke atas. Pemberian subsidi kepada golongan menengah ke atas ini tidak sepadan dengan pajak yang mereka berikan kepada negara. Maka, dengan menaikkan harga BBM diharapkan hal ini akan membantu pendistribusian alokasi anggaran subsidi pemerintah secara lebih merata.

Walaupun begitu, beberapa para ahli berpendapat masih ada opsi lain yang bisa dipilih seperti meningkatkan produksi minyak dalam negeri dan menambah utang luar negeri. Tetapi opsi pertama dinilai sulit dilakukan menimbang ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi target produksi saat ini.

Dampak kenaikan harga BBM ini ditengarai sedikit banyak akan menimbulkan kenaikan harga barang-barang pokok. Mau tidak mau akhirnya rakyat kecillah yang akan menerima dampak kenaikan ini secara lebih terasa karena kemampuan mereka yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga sekarang, apalagi jika harga barang pokok tersebut mengalami kenaikan. Dampak lainnya bisa kita lihat pada tingkat inflasi yang akan cenderung naik dan tingkat pengangguran yang meningkat pula. Kenaikan BBM ini akan memperkecil daya beli konsumen di Indonesia. Hal ini menjadi penyebab menurunnya tingkat investasi di Indonesia karena pangsa pasar yang ada dinilai lebih lesu disbanding sebelumnya.

Pemerintah sendiri sudah menyiapkan beberapa kebijakan lain yang ditujukan kepada rakyat miskin agar dampak kenaikan BBM kali ini tidak begitu memberatkan, misalnya memaksimalkan program jaminan sosial, antara lain program raskin, jaminan kesehatan masyarakat, dan bantuan operasional sekolah serta menciptakan lapangan kerja. Tetapi pertanyaannya, akankah kebijakan-kebijakan ini berjalan sesuai dengan skenario yang sudah direncanakan? Kita tentu belum lupa bagaimana kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dijalankan pemerintah tidak berjalan baik. Lalu bagaimana kita bisa berharap kebijakan kali ini akan berjalan lancar? Ini bukan semata-mata tugas pemerintah saja, tetapi kita sebagai masyarakat juga harus mampu ikut mengawasi jalannya bantuan subsidi untuk rakyat kecil ini. Selain itu kita juga bisa ikut mengurangi beban negara atas dampak kenaikan harga minyak mentah dunia dengan cara menghemat penggunaan BBM dan energi penting lainnya.

diklat cyber


.

Demo dan Pemogokan Perlu Pendekatan Komunikasi


Oleh: Fransiska Rosilawati

Fenomena demonstrasi (demo) dan pemogokan kembali mencuat ke permukaan. Terpetik berita bahwa sekitar 1.000 dari 4.000 pekerja di PT (Persero) Angkasa Pura (AP) I di sejumlah bandara di Indonesia direncanakan akan mogok kerja sejak Rabu (7/5) hari ini. Karno, Ketua Serikat Pekerja (SP) PT AP I Bandara Syamsudin Noor, menyatakan seluruh pekerja di Bandara Banua ini sepakat hanya akan memberikan kekuatan spiritual dengan doa bersama di halaman kantor PT AP I Bandara Syamsudin Noor, agar tuntutan mereka kepada manajemen AP I untuk menaikan gaji pokok, pembayaran tunjangan hari tua berdasarkan gaji terakhir, dan dana kesehatan pensiun dapat terpenuhi. Pekerja yang mogok kerja, informasinya antara lain bagian teknisi elektronika bandara, keamanan bandara, petugas pertolongan dan kecelakaan penerbangan serta pemadam kebakaran, dan petugas airport tax (pajak bandara). Dody Setiawan, Distric Manajer Batavia Air mengatakan "Kami sudah pastikan kondisi di Bandara Syamsudin Noor dan Balikpapan pemantauannya baik-baik saja. Jadi kalau ada demo nanti tidak ada pembatalan penerbangan," Erlan Wahyudi, Kepala Cabang Lion Air, mengatakan Tidak ada yang perlu diantisipasi. Bandara sini aman, tujuan juga aman," (BANJARBARU, BPOST Selasa, 6-5-2008).
Sementara itu, Darwoto, Direktur Utama Angkasa Pura I. Rabu (7/5) Kepada radio Suara Surabaya, mengatakan demo yang dilakukan mulai Rabu hingga Jumat (07/05-09/05) dipastikan tidak mengganggu kegiatan operasional bandara. Prinsipnya pihak manajemen mengajak berunding untuk mencari solusi. Tapi perlu diketahui bahwa di BUMN itu tingkat kesejahteraan pegawai ada standarnya. Semua rencana perubahan kesejahteraan harus dilaporkan dan mendapatkan ijin dari pemegang saham.demo ini hanya diikuti beberapa pengurus dari 13 bandara di bawah naungan Angkasa Pura I , sedangkan bandara Juanda hanya sebatas dukungan moral. Mereka memakai baju hitam dan mengenakan pita hitam di lengan kanan, demo hari ini tidak mewakili keinginan seluruh pegawai. Pendemo menginginkan kenaikan gaji pokok tahun 2007 sebesar 15%. Namun yang disetujui oleh pemegang saham adalah kenaikan gaji karyawan tahun 2008 sebesar 20%. Kenaikan ini sudah disetujui karyawan sejak Januari 2008 lalu. Berarti manajemen sudah bertindak bijaksana. Hingga sekarang, gaji karyawan tahun 2008 sesudah kenaikan 20% belum dikeluarkan. “Nanti akan dirapel uang yang belum diterima,” katanya (Radio Suara Surabaya, 7 Mei 2008).
Sedangkan di wilayah lain, Mogok Kerja Karyawan AP I di Biak Digelar Sejak Pkl 05.00 WIT. Primus, koordinator aksi, saat dihubungi detikcom Rabu (7/5/) mengatakan aksi hari ini selama 6 jam, Rabu hari ke 2 akan dilaksanakan selama 12 jam dan hari ke 3 selama 24 jam. Apabila tidak dipenuhi Bali dan Surabaya siap bergabung, para karyawan sudah minta maaf kepada masyarakat, sebab aksi ini sudah pasti mengganggu pelayanan di bandara. Keselamatan penerbangan jadi tidak terjamin karena tidak ada yang mengecek operasi. Ada beberapa jadwal yang mengalami perubahan, aksi ini telah mendapat dukungan dari DPRD Biak dan Dewan Adat setempat. Hal itu dilakukan karena tuntutan perbaikan kesejahteraan karyawan tidak kunjung dilakukan. Kami ini sebelumnya sudah 4 kali demo, 5 kali ketemu Menteri BUMN, 2 kali ketemu Wapres JK, saat Pak Hatta Rajasa jadi Menhub juga kami temui," sejumlah karyawan diintimidasi dari manajemen dan aparat (Biak, 7/5/2008).

Gejala Komunikasi
Demonstrasi (demo) dan rencana pemogokan pada intinya mengemuka oleh karena ada ketidakpuasan dalam sebuah sistem kerja. Gambaran di atas yaitu demo dan rencana mogok kerja karyawan PT (Persero) Angkasa Pura (PT AP) di beberapa tempat belakangan ini tidak lebih sebagai upaya mengekspresikan pendapat para pekerja dalam menyikapi kondisi di lingkungan kerja mereka. Demo sebagai ungkapan dari rasa kekesalan terhadap sebuah permasalahan yang menyentuh kepentingan para pelakunya seperti sudah biasa dilakukan di banyak tempat. Hal tersebut seiring dengan dibukanya kran kebebasan, sehingga setiap warga negara berhak untuk menyatakan pendapat di muka umum.
Maraknya demo menuntut peningkatan kesejahteraan (gaji) karyawan PT AP ini sebenarnya dapat dipahami. Kenaikan gaji yang telah diputuskan namun belum juga dibayarkan merupakan suatu persoalan yang tentunya perlu segera dicari jalan pemecahannya. Menurut sudut pandang ilmu komunikasi, demo dapat diartikan sebagai gejala komunikasi dalam suatu organisasi, juga merupakan salah satu cara penyampaian pendapat dalam merespons suatu kebijakan. Aktivitas demo dalam hal ini juga dapat diartikan sebagai suatu tanggapan atas kebijakan yang dianggap merugikan atau setidaknya kurang sejalan dengan pemenuhan kepentingan atas kebijakan yang sudah ditetapkan.
Cuplikan pemberitaan tentang demo dan rencana pemogokan yang terjadi dalam tubuh lembaga penerbangan PT Angkasa Pura seperti telah digambarkan di atas dan dimuat oleh media massa serta dipublikasikan melalui media online tersebut cukup menggambarkan adanya persoalan serius yang kini dihadapi oleh dunia penerbangan di Indonesia. Fokus permasalahannya terletak pada penundaan pembayaran kenaikan gaji karyawan sehingga tuntutan kesejahteraan karyawan terus dilakukan untuk menekan pihak manajemen PT AP di beberapa wilayah Indonesia.

Pendekatan Komunikasi
Dalam telaah manajemen, peristiwa demo dan rencana pemogokan dapat dipandang sebagai gangguan terhadap kelancaran sistem dan mekanisme kerja. Jika persoalannya tidak segera di atasi dan berlangsung dalam jangka waktu relatif lama maka kinerja perusahaan PT Angkasa Pura akan sedikit banyak terganggu. Apalagi dengan mengingat bahwa perusahaan ini banyak menyentuh aktivitas berbagai pihak dan lebih pada jasa pelayanan umum (penerbangan) sebaiknya pihak manajer layak segera turun tangan. Mendengar apa yang diutarakan oleh para pendemo (walaupun tidak semua karyawan melakukannya) akan dapat meredam “api dalam sekam”. Hal demikian sangat beralasan, karena sangat dikhawatirkan bila peristiwa ini berlanjut dan berkembang dilakukan tuntutan yang sama di seluruh wilayah kerja PT Angkasa Pura maka aktivitas maupun keselamatan penerbangan nasional bakalan terganggu.
Dilihat dari peristiwanya, nampaknya demo dan rencana pemogokan sebagian karyawan PT AP ini merupakan pelampiasan rasa kekesalan terhadap penundaan kenaikan gaji yang seharusnya diterimakan beberapa bulan yang lalu. Namun mengingat belum memperoleh kejelasan dari pihak manajemen kemudian digalanglah apa yang dinamakan tuntutan kesejahteraan tersebut.
Sangat boleh jadi kasus ini tidaklah terlalu mengejutkan. Sering terjadi di hampir setiap institusi di mana pun. Namun dapat ditengarai bahwa faktor penyebab salah satunya adalah kebuntuan komunikasi dalam organisasi PT AP itu sendiri. Kebijakan yang tidak dibarengi sosialisasi seringkali membuahkan persepsi yang beragam, terlebih hal ini menyangkut kesejahteraan yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Sehingga demo dan rencana mogok yang telah disampaikan para karyawan PT AP di beberapa wilayah kerjanya tersebut tidak lebih sebagai umpan balik (feedback) atas kebijakan yang sudah ada.
Di dunia komunikasi, feedback merupakan sebuah reaksi atas kepentingan yang tidak atau belum terpenuhi. Perlu dipahami pula bahwa feedback adalah sistem komunikasi yang mengontrol secara teknis terhadap sistem yang berjalan supaya ada input dan output. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa umpan balik (feedback) merupakan bagian dari aktivitas komunikasi dan informasi yang tidak kalah pentingnya sebagai elemen yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Umpan balik dapat menjadikan salah satu ukuran sejauhmana aktivitas komunikasi yang dilancarkan itu mendapat respons (positif atau negatif) dari komunikan. Tanpa adanya umpan balik ini mestinya layak dipertanyakan apakah isi komunikasi (kebijakan) dilangsungkan telah efektif atau tidak, dalam arti diketahui, dimengerti, kemudian disadari oleh pihak yang menjadi sasaran.
Pada era reformasi dan demokratisasi, aktivitas komunikasi yang mampu membuahkan umpan balik sangat diperlukan, bahkan dibutuhkan sebagai bagian untuk memperbaiki kebijakan yang telah diambil dan diberlakukan. Komunikasi berupa umpan balik (feedback) dalam berbagai bentuknya seperti demo, sebagai penyampaian aspirasi dan opini, baik yang dilontarkan oleh para karyawan dan telah diliput media massa mestinya dapat dimaknai bahwa kebijakan dalam penundaan pemberian kenaikan gaji dalam rangka menyejahterakan karyawan PT AP yang selama ini telah diputuskan oleh pihak manajemen nampaknya kurang dapat diterima oleh para karyawan. Dengan demikian munculnya umpan balik tersebut mestinya perlu mendapat tempat tersendiri, dihimpun dan diakomodir sebagai bahan masukan dalam rangka memperbaiki sekaligus mengembangkan sistem penggajian secara menyeluruh. Melalui pendekatan komunikasi hal demikian dapat dilakukan supaya semua pihak secara terkait dapat mengemukakan uneg-unegnya untuk diputuskan secara bersama.
_____________