Rabu, 14 Januari 2009

Globalisasi dan Sikap Nasionalisme Generasi Muda


Arus globalisasi ternyata relatif cepat dalam ikut serta mempengaruhi dan mengubah pola maupun prilaku masyarakat secara luas, terutama di kalangan generasi muda. Globalisasi yang ditunjang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadikan proses pertukaran informasi lebih berlingkup mendunia. Nilai-nilai budaya antarbangsa saling berhadapan dan berbenturan satu sama lain dan semakin tak bisa dibatasi, tak bisa dibendung sehingga saling berinteraksi dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Dengan kata lain proses inter-kultural kini terus berlangsung seiring penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih.
Di satu sisi, memang dengan kepesatan TIK akan memberikan dampak postif, di antaranya dapat mempercepat dan memberikan wawasan terkini bagi siapa saja yang memanfaatkannya secara optimal. Namun demikian pengaruhnya pun dapat berubah menjadi negatif apabila seperangkat nilai yang dibawa oleh informasi lewat TIK tersebut tidak dicermati secara seksama sehingga dapat menggusur tatanan nilai maupun budaya yang telah dimiliki. Terpaan informasi dari dunia luar yang begitu derasnya, tanpa difilter inilah yang kemudian sangat layak dikhawatirkan terhadap pengaruh negatif (dampak negatif).
Dalam kaitannya dengan budaya nasional Indonesia, sebagaimana tercermin dalam dasar falsafah negara Pancasila, maka masuknya nilai-nilai asing seiring arus globalisasi tersebut jika tidak disadari akan membuat anak-anak muda kehilangan kepribadian serta jati diri sebagai bangsa Indonesia. Betapa tidak, fenomena yang muncul di permukaan seperti kehidupan sehari-hari pada anak muda sekarang menampakkan gejala memudarnya dasar pijakan yang berakar dari budaya aselinya. Hal ini dapat dicontohkan dengan penampilan anak muda yang gemar berbelanja atau nongkrong di berbagai mall, cafee, bar dan karaoke, serta minum-minuman keras bahkan sampai sempoyongan. Juga dalam hal penampilan (performance) kita sering menyaksikan cara anak muda berpakaian berkiblat pada gaya selebritis yang cenderung berbudaya barat, rambut disemir pirang, laki-laki pakai anting-anting bak penyanyi top, bagian badan ber-tato, dan sebagainya. Contoh di atas sudah bukan merupakan hal yang langka di sekitar kita. Di Yogyakarta hampir di setiap sudut kota dapat dijumpai, terutama di tempat-tempat keramaian umum.
Persoalan yang kemudian patut dipertanyakan adalah, mengapa hal demikian mesti terjadi dan faktor-faktor apa yang menjadikan para generasi muda di negeri tercinta ini menunjukkan kecenderungan bahwa dirinya cenderung tercerabut dari akar budayanya yang sesungguhnya adiluhung?
Secara psikologi, perkembangan anak muda memang cenderung sangat imitative, meniru apa yang mereka lihat. Terpaan (exposure) media yang bertubi-tubi yang berasal dari negara luar, dengan tampilan-tampilan sekuler dan kultur hedonisme-nya telah mampu menembus “benteng pertahanan budaya lokal” sehingga mampu membius kalangan muda usia untuk mengadopsinya secara mentah-mentah.
Media massa yang bersifat audio visual maupun media interaktif (internet) serta derasnya pertukaran arus informasi di era global ini seringkali tidak disadari telah membawa dampak psikologis maupun dampak fisik (Jalaluddin Rakhmat, 2005). Oleh sebab itulah, negara Indonesia yang menganut demokrasi dalam kancah aktivitas komunikasi dan informasi seringkali masyarakatnya kurang menyadari betapa dahsyatnya terpaan media dalam mempengaruhi perilaku manusia.
Dampak-dampak psikologis seperti telah digambarkan dalam paparan di atas sekaligus perlu dicermati, bahwa difusi informasi yang saban hari menerpa khalayak di Indonesia belum diterima secara proporsional. Artinya, terpaan informasi dari berbagai penjuru dunia yang semakin tak terhingga jumlahnya, telah diterima apa adanya, tanpa dibarengi kesadaran (un-conscious). Jika kondisi demikian dibiarkan berlalu tanpa ada pihak-pihak yang perduli akan dampak-dampak negatif globalisasi dengan seperangkat alat serta nilai-nilai yang menyertainya maka bukan tidak mungkin “benturan budaya” akan terjadi.
Sementara itu, dampak-dampak negatif yang lebih bersifat fisik di antaranya dapat terlihat bahwa kita sebagai bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya cenderung konsumtif. Sikap imitatif (hanya bisa meniru) akibat exposure (terpaan) media massa dan media interaktif (internet) itulah yang selanjutnya menarik untuk dikaji secara lebih jauh dan mendalam. Sebab itu pula, tulisan ini sangat beralasan jika mengasumsikan: Apabila “benturan budaya” tersebut lebih dominan nilai-nilai yang berasal dari luar (asing) maka secara langsung atau tidak langsung akan ikut menggerogoti nilai-nilai ke-Indonesiaan seperti tercermin dalam Pancasila (yang sesungguhnya lebih membumi) dan lebih bersesuaian dengan pengembangan budaya nasional, tanpa harus melenyapkan sifat ke-Indonesiaannya tersebut.
Melihat gejala seperti telah dipaparkan di atas, tentunya kita tidak bisa berpangku tangan. Seoptimal mungkin pihak-pihak yang berkompeten perlu menaruh atensi serius. Sentuhan-sentuhan dan tindakan nyata perlu segera diberlakukan untuk mengantisipasi agar pengaruh globalisasi yang terus menerus menggempur budaya Indonesia segera dapat ditepis dalam rangka memajukan bangsa tanpa harus mengorbankan nilai-nilai nasionalisme (ke-Indonesiaan). Pendidikan ideologi dalam rangka menanamkan rasa kebangsaan kepada generasi muda menjadi hal penting yang pantas dilakukan, ada beberapa tawaran solusi di antaranya:

Pertama, pendidikan formal.
Dasar penanaman ideologi sesungguhnya sangat efektif dilakukan sejak dari sekolah-sekolah formal. Sejak masa kanak-kanak di Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), maka transformasi nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) akan sangat membekali masa depan mereka. Pembiasaan sikap yang berdasarkan nilai-nilai budaya Indonesia yang dikaitkan dengan mata pelajaran Kewarganegaraan diharapkan mampu membentuk sikap nasionalisme dalam segala perilaku keseharian.
Kedua, pendidikan non formal.
Di samping pendidikan formal, kita juga mengenal pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang berlangsung dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Penanaman rasa nasionalisme dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial seperti missal: dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI, para generasi muda diposisikan sebagai pelaku kegiatan 17-an, mulai dari mendirikan gapura, kebersihan lingkungan menyambut Hari Kemerdekaan, pemasangan bendera Merah-Putih, umbul-umbul, serta kegiatan lomba, malam tirakatan dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Di sini sangat diharapkan para tokoh masyarakat perduli terhadap generasi muda sehingga pelibatan mereka dalam menyongsong Hari Kemerdekaan merupakan salah satu implementasinya.
Ketiga, pendidikan informal.
Betapa pun pendidikan formal dan pendidikan non formal telah dilakukan, maka agar mencapai efektivitas lebih lanjut, akan lebih lengkap bilamana pendidikan informal, yaitu pendidikan di lingkungan rumah juga melangsungkan penanaman sikap dan moral menyangkut cara-cara kehidupan bernegara yang baik, bagaimana para orangtua mendidik anak-anaknya untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kultur Indonesia, bagaimana para orangtua membimbing anak-anaknya untuk menjadi warga negara yang baik, misalnya: melakukan pendekatan persuasif dan dapat menjelaskan bahwa kita sebagai bangsa sesungguhnya mempunyai tatanan nilai dan budaya yang adiluhung. Masuknya budaya luar sebenarnya tidak perlu ditolak secara ekstrim, namun menjelaskan secara persuasif bahwa nilai-nilai asing itu belum tentu sesuai dengan karakter bangsa kita- agaknya lebih mengena- sehingga si anak bisa memahami secara sadar.
Tentu saja, beberapa tawaran solusi seperti telah dipaparkan di atas masih memerlukan sikap tauladan dan sikap konsisten, terutama bagi para pendidik, tokoh masyarakat dan orangtua masing-masing agar digugu dan ditiru (sistem among) oleh generasi muda sebagai harapan dan masa depan bangsa. Sebagaimana terpetik dalam ajaran Ki Hajar Dewantara bahwa: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani. Ini nampaknya masih relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan maupun pengajaran di negeri tercinta, Indonesia.** Oleh: Fransiska Rosilawati

Tidak ada komentar: