Rabu, 10 Maret 2010

“Wisata Kemiskinan” Menuai Tanggapan Kontroversial

Di tengah hiruk-pikuk wacana politik dan hukum yang sedang mencuat diberitakan media seperti kasus Bank Century, nampak ada sebuah pemberitaan yang diliput media dengan topik “wisata kemiskinan.” Topik ini walaupun tidak banyak mendapat porsi dalam frekuensi pemberitaan, akan tetapi sempat direspons maupun ditanggapi oleh pihak-pihak yang menaruh kepentingan, bahkan sempat mengundang pendapat yang kontroversial. Ditemuinya persepsi berbeda dalam menyoroti persoalan ini menarik dicermati karena masing-masing berlandaskan konsep yang tidak sama dalam memandang aktivitas kepariwisataan.
Di satu sisi menyebutkan bahwa paket wisata ‘kemiskinan’ yang diselenggarakan satu agen di Jakarta Timur diprotes oleh kalangan pelaku pariwisata. Pasalnya, kegiatan tersebut melenceng dari etika dan ketentuan mengenai tujuan kepariwisataan. Menurut Wisnu Budi Sulaiman, praktisi pariwisata, meskipun tidak ada peraturan yang mengikat, namun idealnya pelaksanaan pariwisata mempublikasikan tentang keindahan. Kecaman juga dilayangkan DPRD DKI terkait hal ini. Andyka, Anggota Komisi B yang membidangi masalah kepariwisataan Jakarta meminta pemprov segera menyelidiki dibalik pelaksanaan perjalanan wisata tersebut. Menurutnya kegiatan ini tidak banyak manfaatnya karena mempertontonkan kemiskinan warga Jakarta untuk meraup keuntungan. Selain itu kehadiran warga asing ditambah pemberian uang akan menciptakan pengemis pada warga di pemukiman kumuh (Pos Kota, 22/12/10).
Sementara di sisi lain yaitu si penggagas ide wisata kemiskinan ini, Ronny Poluan menyatakan, "saya tidak menjual kemiskinan negeri saya. Saya juga anak bangsa yang punya nasionalisme. Tolong ini dicatat dulu, sebelum timbul pikiran-pikiran negatif." Menurutnya, separuh dari biaya tour yang dibayar turis ia berikan kepada masyarakat di daerah kumuh yang menjadi obyek wisata. "Di luar itu, ada beberapa turis yang kemudian secara langsung tergerak untuk memberikan bantuan kepada warga." Ditambahkan Ronny, daerah padat hunian maupun kumuh yang menjadi favorit turis asing antara lain Kampung Luar Batang (dekat Pasar Ikan), Galur, Senen (permukiman di pinggir rel kereta api), Kampung Pulo (pinggiran Kali Ciliwung, Kampung Melayu), dan Kampung Bandan dekat Kota Tua. Tarif tour berkisar antara USD 65 sampai 165 (Rp 600 ribu – Rp 1,5 juta) per orang untuk paket jalan-jalan sekitar empat atau lima jam. “Berwisata” ke daerah-daerah kumuh perkotaan Jakarta, ternyata cukup diminati turis-turis asing asal Australia, Amerika Serikat, dan Jepang. Peluang ini dimanfaatkan Ronny Poluan, yang menjual paket wisata "Jakarta Hidden Tour". Oleh jaringan televisi internasional CNN yang sempat meliput pekerjaan Ronny Poluan, paket wisata itu disebut sebagai “Wisata Kemiskinan.”
Demikian petikan dari konsep dan persepsi yang berbeda dalam mengartikan “wisata kemiskinan” sehingga sempat mewarnai halaman-halaman suratkabar dan media komunikasi lain yang berujung pada munculnya tanggapan kontroversial. Si penggagas ide wisata melalui kecerdasannya bisa jadi telah mengaplikasikan konsep yang berlandaskan paham ekonomi politik, yaitu menawarkan sebuah paket wisata yang dikemas sedemikian rupa dan wisata ini lebih merupakan sebuah on the spot dalam melihat kondisi real terhadap suatu komunitas termarginalkan. Bagi peminat wisata (asing), hal demikian merupakan sesuatu yang baru (something new) dan mempunyai nilai tersendiri ketika mereka menyaksikan dari dekat perihal tingkat kemiskinan di negara yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan seperti negeri ini. Namun pemikiran tersebut agaknya berbenturan dengan konsep-konsep kepariwisataan konvensional, yaitu yang menawarkan tentang keindahan alam dan budaya terkait di dalamnya. Dalam perkataan lain, bahwa oyek pariwisata dipersepsi secara positif yaitu seharusnya mempertontontan hal-hal yang baik, indah dan menawan. Itu sebabnya sebagian pihak merasa resah dengan adanya paket “wisata kemiskinan” dengan asumsi bahwa mempertontonkan kemiskinan untuk meraup keuntungan sangatlah tidak layak. Persoalan ini mestinya menarik untuk dicatat sekaligus dicermati dalam rangka memahami lebih jauh mengapa paket “wisata kemiskinan” menjadikan ajang “perdebatan” pemberitaan di sejumlah media komunikasi belakangan ini.

Perbedaan persepsi
Dalam ranah ilmu komunikasi disebutkan, bahwa adanya pengertian yang sama antara komunikator dan komunikan tentu ada faktor-faktor yang turut mempengaruhinya, salah satu di antaranya adalah dimulai dari terciptanya frame of reference yang sama. Jika unsur tersebut belum terpenuhi maka yang muncul ke permukaan adalah mis-communication yang pada gilirannya terjadi kesalahpahaman dalam memaknai sesuatu yang dikemukakan. Ketidaksamaan frame of reference ini juga akan berakibat kepada sejauhmana penafsiran terhadap suatu permasalahan yang dikemukakan, termasuk terhadap konsep “wisata kemiskinan” yang sesungguhnya istilah maupun nomenklatur tersebut masih perlu dijabarkan secara komprehensif, mulai dari latar belakang kenapa istilah itu dipergunakan hingga mengapa dan bagaimana paket wisata tersebut dilakukan bahkan diminati oleh wisatawan, terutama wisatawan asing yang berkunjung ke negeri ini.
Jika kita sejenak menengok aktivitas dan perilaku kepariwisataan dalam arti luas, khususnya yang sedang berlangsung di negara-negara luaran (luar negeri) bukanlah sesuatu yang aneh bilamana ditemui paket-paket wisata yang tertuju untuk mendatangi kantung-kantung daerah miskin, kumuh (slum area) dan sejenisnya. Obyek wisata ini sudah lazim dan bukan termasuk “barang baru” sehingga perdebatan terhadap persoalan istilah tersebut tak pernah terjadi. Ini mengindikasikan bahwa paradigma tentang pariwisata sudah bergeser yaitu dari yang tadinya hanya ingin menikmati keindahan alam dan lingkungan serta budaya setempat (yang tentu sudah dipoles dan direkayasa sedemikian rupa). Kondisi seperti ini selanjutnya akan berakibat pada tingkat kejenuhan dikarenakan orientasi seseorang berkunjung atau mengunjungi tempat-tempat wisata tidak lebih hanya sekadar melihat hasil budaya yang sudah dikemas sedemikian baik. Pendek kata, konsumen di sektor kepariwisataan hanya “dimanjakan” oleh sajian obyek yang merupakan kumpulan “data artifisial” yang dipoles sedemikian indah dan cantik sehingga bagi wisatawan yang cerdas dan berpikiran kritis akan membosankan.
Seiring terjadinya pergeseran cara pandang wisatawan dalam mengunjungi tempat-tempat wisata, tidak keliru bilamana kemudian muncul kecenderungan baru yang berbeda dengan konsep-konsep konvensional selama ini. Pengunjung wisata tidak lagi hanya terbuai dengan suguhan-suguhan lokasi wisata yang dari dulu ke dulu hanya menampilkan itu dan itu saja, menampilkan keindahan alam dan lingkungan (baca: leisure). Jauh dari itu, wisata yang bernuansa petualangan (adventure) dan besifat social interest justru mengundang banyak minat wisatawan di abad ini. Strategi dan inovasi monoton dalam kepariwisataan, yang tak pernah berubah telah menjadikan tingkat kejenuhan tersendiri, tidak pernah ditemukan sesuatu yang baru atau yang aktual setelah pengunjung mendatangi lokasi yang hampir pasti tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Paket “wisata kemiskinan” yang belakangan ini sedang naik daun sekaligus mulai banyak mendapat renpons berupa naiknya para peminat, sebenarnya tidak perlu diresahkan oleh karena sebutan yang disalahpersepsikan secara sempit. Cara pandang berbeda yang kemudian melahirkan istilah “wisata kemiskinan” tidak lebih dapat diartikan sebagai data tandingan dan fakta yang dibeberkan untuk menggugat “data artifisial” yang telah dikemas sedemikian indah dan cantik, sebagaimana upaya rekayasa terhadap lokasi-lokasi wisata di tanah air. Mempersepsi wisata dalam lingkup dan pola pikir sempit yang tipikal emosional hanya akan menjadikan suasana yang kurang kondusif. Mestinya kontroversi perihal istilah “wisata kemiskinan” ini tidak perlu terjadi apabila memandang sebuah persoalan dari berbagai perspektif untuk kemudian dipahami arti, maksud dan tujuan dari paket wisata itu sendiri.
Memang jika dilihat dari satu sisi kepentingan, dilihat dari penamaan paket wisata ini sepertinya ada pihak kurang berkenan dengan alasan bahwa nomenklatur “wisata kemiskinan” kayaknya terkesan “memperdagangkan kemiskinan” atau menjual sebuah kemiskinan untuk dipertontonkan kepada turis atau wisatawan mancanegara. Demikian persepsi mereka sehingga wacana tersebut sempat mengemuka sebagai tanggapan atas munculnya paket wisata itu dan di sinilah terjadi salah persepsi.
Pada sisi lain, sesungguhnya persepsi itu sendiri merupakan suatu variabel antara (intervening variabel), bergantung pada faktor-faktor motivasional. Artinya suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor-faktor organisme. Persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda, karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya (Chaplin, J.P: 1999). Dengan demikian apabila ada dua pesepsi yang berbeda ini berbenturan sebagaimana tidak tercipta adanya kesamaan frame of reference maka dampak lebih jauh akan terjadi, seperti tanggapan kontroversal akan terus berlangsung dan cenderung kontraproduktif.

Menggali berbagai informasi dan fakta
Topik kemiskinan sebenarnya menarik dicermati, dalam artian mengapa fenomena kemiskinan selalu terjadi dan bagaimana kita mencoba memberikan langkah solutif terhadap masalah yang “menghambat” kesejahteraan sosial di negeri ini. Secara umum, kemiskinan itu sendiri dapat terbagi menjadi dua yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kita akan membahas kemiskinan relatif seperti dipaketkan dalam “wisata kemiskinan” di sejumlah lokasi di Jakarta seperti Kampung Luar Batang (dekat Pasar Ikan), Galur, Senen (permukiman pinggir rel kereta api), Kampung Pulo (pinggiran Kali Ciliwung, Kampung Melayu), dan Kampung Bandan dekat Kota Tua. Itu semua dapat dikatakan sebagai zoning kemiskinan relatif yang menarik untuk dicermati lebih jauh. Dan tentunya tidak hanya di Jakarta, di kota-kota besar lain pun zoning kemiskinan dapat dilakukan untuk melengkapi daerah tujuan wisata jika memang dikehendaki.
Dalam rangka mengunjungi zona-zona kemiskinan seperti disebut di atas maka sudah selayaknya lokasi miskin dengan kondisinya yang serba minus tersebut bukan hanya menjadi obyek semata. Melakukan peninjauan dan amatan langsung mestinya akan memperoleh gambaran nyata sebagai bahan pemikiran tersendiri. Syukur-syukur bilamana para wisatawan yang memiliki minat khusus itu malakukan action dan menjadikan masyarakat setempat sebagai subyek dalam artian tidak segan berbaur dengan warga yang berada di lokasi diajak berdialog untuk mengenali dirinya mengapa mereka tinggal di lokasi tersebut, bagaimana latar belakang mereka sampai bermukim di wilayah kumuh, maupun berbagai pertanyaan terkait sehingga paling tidak para pengunjung dapat berempati sambil menggali berbagai informasi dan fakta serta memberikan solusi sehingga akan memahami kondisi setempat melalui upaya merekonstruksi proses terjadinya permukiman rakyat miskin.
Membawa oleh-oleh berupa data dan fakta dari hasil kunjungan wisata demikian tentu akan sangat berguna dan memberikan wawasan luas tentang kenapa terjadi kemiskinan. Di sinilah nilai positif dapat dipetik dari kunjungan para wisatawan ke lokasi-lokasi komunitas tertinggal yang diberi label “wisata kemiskinan” dan akhir-akhir ini marak berkembang di Jakarta. Jika kosensepnya dapat menggugah keperdulian wisatawan terhadap kemiskinan, maka jenis wisata ini pantas didukung. Apalagi pada saat ini sudah banyak wisatawan yang selektif dan kritis dalam memilih “menu” wisata yang ditawarkan.
Apabila konsep demikian dikaitkan dengan program pembangunan yang sedang berlangsung di negeri ini, yaitu menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik (better life) jelas wisata ini akan banyak memberikan kontribusi positif dan banyak membantu dalam upaya turut serta menunjang pengentasan kemiskinan. Kemiskinan relatif seperti dipaparkan di atas mungkin sudah saatnya didekati melalui penanganan yang serius, terprogram secara territorial spesifik khususnya terbingkai dalam kebijakan otonomi di masing-masing daerah supaya masalah kemiskinan dapat ditangani secara sungguh-sungguh dan proporsional. Nampaknya, persoalan yang menyangkut social interest kini mulai banyak mengundang minat khalayak luas (wisatawan), sekaligus ingin membuktikan apakah pelaksanaan program pembangunan mampu memperkecil divergensi sehingga gap antara yang kaya dan yang miskin tidak terlampau menyolok. Itu semua dapat teratasi bilamana setiap langkah atau pengambilan kebijakan dilandasi oleh regulasi yang berpihak kepada rakyat miskin.
Dengan demikian, sebenarnya tanggapan kontroversial terhadap “wisata kemiskinan” tidak perlu terjadi dan berkepanjangan apabila semua pihak dapat mempersepsi atau memaknainya secara konseptual, cermat dan mau memahami mengapa dan bagaimana paket “wisata kemiskinan” muncul ke permukaan bahkan diminati wisatawan khususnya dari Eropa dan Jepang.**
____________
Fransiska Rosilawati, Fungsional Pranata Humus di BPPKI Yogyakarta.

Kamis, 04 Februari 2010

" Desa Berdering" dan "Desa Pintar" Sebagai Upaya Memperlancar Arus Informasi

Komitmen bahwa nantinya tidak ada lagi wilayah Indonesia yang terisolir nampak mulai terwujud. Keinginan semua pihak, baik pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkompeten untuk membangun infrastruktur teknologi informasi sampai ke wilayah pedesaan sudah diupayakan. Belum lama berselang, di akhir bulan November 2009, proyek Palapa Ring yang sudah direncana matang sejak tahun 2005 akhirnya mulai bisa dioperasikan, setidaknya pada langkah pertama dibangun jaringan komunikasi seluler di beberapa wilayah desa (Desa Berdering) untuk kemudian dilanjutkan melalui program pemerataan jaringan internet (Desa Pintar) sehingga pada tahun 2014 nanti diharapkan cita-cita Menuju Masyarakat Informasi akan dapat tercapai.

Peresmian Awal Pembangunan Palapa Ring, Pengoperasian Program “Desa Berdering” (USO) dan Sejumlah Proyek Infrastruktur Telekomunikasi oleh Presiden RI Pada Tanggal 30 November 2009 telah dilakukan. Diawali dengan sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring dari Mataram. Lewat layar lebar yang disediakan di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan seluruh tamu undangan bisa menyaksikan pidato tersebut. Di akhir sambutannya, Menkominfo Tifatul menyampaikan pantun yang ditujukan kepada SBY. Pada kesempatan tersebut, SBY juga melakukan telepon dengan dua warga yang terletak di desa terpencil di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Drs Alwi dan warga desa terpencil di pedalaman Pulau Kalimantan, Pak Suni. Baik Pak Alwi dan Pak Suni saling menceritakan kebahagiaannya dengan masuknya telepon di kampung mereka. Dengan adanya program 'Desa Berdering', mereka bisa menjual hasil pertanian ke kota cukup dengan menggunakan telepon saja. 'Sebelumnya harus diangkut ke kota 11 kilometer," cerita Pak Alwi (detikcom, 30 November 2009).

Dicanangkannya program “Desa Berdering” dan telah diresmikannya pengoperasian akses telekomunikasi dan informatika di beberapa wilayah pedesaan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan pihak pengusaha di bidang telekomunikasi menunjukkan bahwa proses pemerataan informasi guna menunjang berbagai aktivitas di seluruh desa di Indonesia merupakan bukti nyata dari pembangunan menuju modernisasi. Arus informasi yang tadinya belum merata, terutama di lokasi desa-desa terpencil (terisolir) diharapkan kelak di kemudian hari (2014) sudah tidak ada lagi yang namanya kesenjangan informasi. Langkah awal ini juga merupakan entry point untuk kemudian diteruskan secara berkesinambungan menuju program “Desa Pintar” yaitu pemerataan akses teknologi berbasis komputer (internet) sehingga pergaulan di tingkat global semakin hari semakin terealisasi dan bisa dilakukan atau dinikmati oleh seluruh warga negara di republik tercinta ini.

Masyarakat Desa, Gaptek?
Anggapan umum seringkali terlontar bahwa masyarakat desa (terpencil) adalah masyarakat yang gagap teknologi (gaptek). Bahkan anggapan tersebut seolah digeneralisir dan sesungguhnya layak dicermati secara lebih jauh. Benarkah demikian adanya? Jika diamati secara nyata di lapangan, agaknya anggapan di atas tidaklah selalu benar, banyak hal yang perlu dilihat mengapa masyarakat desa “kurang akrab” dengan teknologi informasi dan komunikasi?

Pertama, letak geografis. Apabila dikatakan masyarakat desa gaptek kiranya kurang tepat. Misalnya saja, masyarakat desa yang mempunyai aktivitas sosial-ekonomi telah banyak yang memiliki handphone (HP). Jenis dan tipe apapun sudah banyak dijumpai di desa-desa, terutama bagi mereka yang mobilitasnya tinggi selalu dijumpai alat komunikasi yang paling praktis tersebut. Komputer juga sudah mulai ditemui di pedesaan, walaupun masih terbatas pada kalangan tertentu yang berkecimpung dalam bidang pendidikan formal. Hanya saja persoalannya terletak pada ketiadaan fasilitas pendukung, seperti Base Transceiver Station. (BTS) yang jumlahnya terbatas sehingga penerimaan sinyal pada receiver dan handphone menjadi lemah. Padahal BTS banyak berfungsi untuk menjembatani perangkat komunikasi antara pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain. Keterbatasan BTS inilah sebagai penyebab kurang lancarnya arus informasi ke wilayah pedesaan terpencil.

Kedua, keterbatasan listrik. Harus dipahami bahwa belum semua wilayah pedesaan di negeri ini sudah mempunyai fasilitas listrik, desa-desa terpencil di pulau-pulau tertentu masih belum dijangkau/memiliki ketersediaan listrik. Bagaimana mungkin akses terhadap informasi bisa berlangsung secara optimal bilamana listrik saja tidak tersedia? Ini merupakan persoalan sekaligus kendala yang perlu mendapat perhatian bilamana diharapkan nantinya ada pemerataan informasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada baiknya, khusus untuk lokasi desa terpencil yang tidak tersedia listrik kemudian dirancang solar cell (tenaga matahari) sebagai penyuplai tenaga listrik, atau bisa juga memanfaatkan micro hydro (tenaga air) dan win turbin (tenaga angin).

Ketiga, investasi besar. Untuk membangun jaringan kabel Telkom ke wilayah desa bukan merupakan sesuatu yang mudah, demikian pula untuk membangun BTS bagi operator seluler sudah barang tentu tidak sedikit menghabiskan dana. Sehungan hal itu maka logis bilamana setiap perusahaan selalu mempertimbangkan untung dan ruginya sebelum membangun jaringan telekomunikasi atau mendirikan tower-tower BTS tersebut. Kelayakan untuk membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi atas pertimbangan kondisional dan inilah seringkali membuat desa (terpencil) kurang mendapat perhatian serius dalam hal penyediaan fasilitas jaringan.

Faktor-faktor tersebut di atas layak dipahami. Masyarakat desa sesungguhnya punya kemauan serta kemampuan sama dengan masyarakat kota dalam penggunaan atau pemanfaatan telepon (handphone) misalnya, namun karena jaringan belum tersedia dan BTS masing-masing operator kurang merata keberadaannya di desa-desa maka sinyal di desa (terpencil) tidak stabil, kadang malahan tidak ditemui sinyal (blankspot). Hal inilah yang menyebabkan akses informasi terhambat. Belum adanya pihak penyelenggara yang berminat berinvestasi untuk membangun sarana dan prasarana teknologi informasi- maka masyarakat desa kurang optimal dalam mengakses informasi melalui telepon. Berdasarkan kondisi demikian, sesungguhnya kurang benar jika kemudian muncul anggapan bahwa masyarakat desa termasuk pada golongan gagap teknologi (gaptek). Hanya kondisilah yang ”memaksa” mereka memiliki keterbatasan untuk melancarkan aktivitas komunikasi.

”Desa Pintar” Perlu Pelatihan
Khususnya berkait dengan teknologi berbasis komputer (internet), agaknya untuk program yang satu ini memerlukan kajian tersendiri, misalnya dalam pencanangan ”Desa Pintar” nantinya perlu dibarengi adanya pelatihan-pelatihan praktis, jika memang perlu maka pelatihan dilakukan secara berkelanjutan. Kalau memungkinkan, juga perlu pelatihan menyangkut pada tingkat manajemen perawatan/pemeliharaan bekerjasama dengan pemerintah daerah maupun pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi. Internet masuk desa secara massif memang tidak seperti membalik telapak tangan, program USO atau Universal Service Obligation yang nantinyadirencana menjangkau akses internet bagi 5.748 kecamatan di seluruh Indonesia mestinya layak dibarengi peningkatan kemampuan sumber daya manusia pengguna (masyarakat setempat) melalui upaya pelatihan agar pemasyarakatan teknologi dapat berlangsung kondusif.

Mengingat bahwa penyediaan sarana dan prasarana teknologi informasi berbasis komputer (internet) ini bukan merupakan barang murah, terlebih peralatannya yang harus ditangani secara berhati-hati, termasuk pemeilharaannya harus berkelanjutan- maka perencanaan lokasi perlu mendapat pertimbangan matang. Lokasi strategis bisa diambil misalnya berada di pusat keramaian/penduduk, sedangkan untuk bangunan fisik dan mudah dilakukan kontrol maka pilihan lokasi berdekatan dengan pusat pemerintahan kecamatan. Aspek kenyamanan dan keamanan menjadi hal yang tidak bisa diabaikan sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat desa maupun kecamatan tidak berlangsung secara musiman. Sudah banyak proyek mangkrak dan berjalan sesaat atau terkesan sporadis, muncul proyek baru secara mendadak dan hilang begitu saja tanpa meninggalkan kesan. Proyek ”Desa Pintar” diharapkan dapat dilaksanakan secara serius dan bisa bermanfaat dalam jangka panjang.

Dari semua pembahasan tulisan ini selanjutnya dapat disimpulkan bahwa program pemerataan informasi melalui ”Desa Berdering” dan ”Desa Pintar” patut disikapi secara positif. Layanan akses telepon dan internet yang tercakup dalam program USO ini selanjutnya dapat dimaknai sebagai ajang pengenalan teknologi informasi, khususnya internet dan komputer kepada masyarakat di wilayah pedesaan. Melalui upaya demikian selanjutnya kehadiran teknologi informasi akan membawa efek ganda yaitu dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, sebagai wahana pendidikan dan pelatihan, peningkatkan produktivitas dan peningkatan perekonomian masyarakat setempat.

Dengan perkataan lain, kehadiran teknologi informasi ke wialayah pedesaan setidaknya akan dapat menunjang berbagai aktivitas masyarakat. Komunikasi dan informasi yang berteknologi modern telah menjadikan suatu kebutuhan sarana dalam rangka efisiensi dan efektivitas dalam segala hal maupun kegiatan masa kini maupun masa datang. Tak terkecuali, masyarakat di pelosok desa pun memerlukan sarana komunikasi dan informasi untuk menunjang segala aktivitasnya, termasuk untuk melakukan kontak dan bergaul dengan seluruh mitranya sesuai kepentingan masing-masing. Melalui program USO tersebut diharapkan dapat memperlancar arus informasi dan pada gilirannya nanti dapat menunjang tercapainya kemakmuran bagi seluruh pelosok Indonesia, dapat dinikmati secara merata hingga ke desa-desa terpencil sekalipun.
___________
Fransiska Rosilawati, Pranata humas di BPPKI Yogyakarta,

Rabu, 14 Januari 2009

Globalisasi dan Sikap Nasionalisme Generasi Muda


Arus globalisasi ternyata relatif cepat dalam ikut serta mempengaruhi dan mengubah pola maupun prilaku masyarakat secara luas, terutama di kalangan generasi muda. Globalisasi yang ditunjang penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadikan proses pertukaran informasi lebih berlingkup mendunia. Nilai-nilai budaya antarbangsa saling berhadapan dan berbenturan satu sama lain dan semakin tak bisa dibatasi, tak bisa dibendung sehingga saling berinteraksi dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Dengan kata lain proses inter-kultural kini terus berlangsung seiring penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih.
Di satu sisi, memang dengan kepesatan TIK akan memberikan dampak postif, di antaranya dapat mempercepat dan memberikan wawasan terkini bagi siapa saja yang memanfaatkannya secara optimal. Namun demikian pengaruhnya pun dapat berubah menjadi negatif apabila seperangkat nilai yang dibawa oleh informasi lewat TIK tersebut tidak dicermati secara seksama sehingga dapat menggusur tatanan nilai maupun budaya yang telah dimiliki. Terpaan informasi dari dunia luar yang begitu derasnya, tanpa difilter inilah yang kemudian sangat layak dikhawatirkan terhadap pengaruh negatif (dampak negatif).
Dalam kaitannya dengan budaya nasional Indonesia, sebagaimana tercermin dalam dasar falsafah negara Pancasila, maka masuknya nilai-nilai asing seiring arus globalisasi tersebut jika tidak disadari akan membuat anak-anak muda kehilangan kepribadian serta jati diri sebagai bangsa Indonesia. Betapa tidak, fenomena yang muncul di permukaan seperti kehidupan sehari-hari pada anak muda sekarang menampakkan gejala memudarnya dasar pijakan yang berakar dari budaya aselinya. Hal ini dapat dicontohkan dengan penampilan anak muda yang gemar berbelanja atau nongkrong di berbagai mall, cafee, bar dan karaoke, serta minum-minuman keras bahkan sampai sempoyongan. Juga dalam hal penampilan (performance) kita sering menyaksikan cara anak muda berpakaian berkiblat pada gaya selebritis yang cenderung berbudaya barat, rambut disemir pirang, laki-laki pakai anting-anting bak penyanyi top, bagian badan ber-tato, dan sebagainya. Contoh di atas sudah bukan merupakan hal yang langka di sekitar kita. Di Yogyakarta hampir di setiap sudut kota dapat dijumpai, terutama di tempat-tempat keramaian umum.
Persoalan yang kemudian patut dipertanyakan adalah, mengapa hal demikian mesti terjadi dan faktor-faktor apa yang menjadikan para generasi muda di negeri tercinta ini menunjukkan kecenderungan bahwa dirinya cenderung tercerabut dari akar budayanya yang sesungguhnya adiluhung?
Secara psikologi, perkembangan anak muda memang cenderung sangat imitative, meniru apa yang mereka lihat. Terpaan (exposure) media yang bertubi-tubi yang berasal dari negara luar, dengan tampilan-tampilan sekuler dan kultur hedonisme-nya telah mampu menembus “benteng pertahanan budaya lokal” sehingga mampu membius kalangan muda usia untuk mengadopsinya secara mentah-mentah.
Media massa yang bersifat audio visual maupun media interaktif (internet) serta derasnya pertukaran arus informasi di era global ini seringkali tidak disadari telah membawa dampak psikologis maupun dampak fisik (Jalaluddin Rakhmat, 2005). Oleh sebab itulah, negara Indonesia yang menganut demokrasi dalam kancah aktivitas komunikasi dan informasi seringkali masyarakatnya kurang menyadari betapa dahsyatnya terpaan media dalam mempengaruhi perilaku manusia.
Dampak-dampak psikologis seperti telah digambarkan dalam paparan di atas sekaligus perlu dicermati, bahwa difusi informasi yang saban hari menerpa khalayak di Indonesia belum diterima secara proporsional. Artinya, terpaan informasi dari berbagai penjuru dunia yang semakin tak terhingga jumlahnya, telah diterima apa adanya, tanpa dibarengi kesadaran (un-conscious). Jika kondisi demikian dibiarkan berlalu tanpa ada pihak-pihak yang perduli akan dampak-dampak negatif globalisasi dengan seperangkat alat serta nilai-nilai yang menyertainya maka bukan tidak mungkin “benturan budaya” akan terjadi.
Sementara itu, dampak-dampak negatif yang lebih bersifat fisik di antaranya dapat terlihat bahwa kita sebagai bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya cenderung konsumtif. Sikap imitatif (hanya bisa meniru) akibat exposure (terpaan) media massa dan media interaktif (internet) itulah yang selanjutnya menarik untuk dikaji secara lebih jauh dan mendalam. Sebab itu pula, tulisan ini sangat beralasan jika mengasumsikan: Apabila “benturan budaya” tersebut lebih dominan nilai-nilai yang berasal dari luar (asing) maka secara langsung atau tidak langsung akan ikut menggerogoti nilai-nilai ke-Indonesiaan seperti tercermin dalam Pancasila (yang sesungguhnya lebih membumi) dan lebih bersesuaian dengan pengembangan budaya nasional, tanpa harus melenyapkan sifat ke-Indonesiaannya tersebut.
Melihat gejala seperti telah dipaparkan di atas, tentunya kita tidak bisa berpangku tangan. Seoptimal mungkin pihak-pihak yang berkompeten perlu menaruh atensi serius. Sentuhan-sentuhan dan tindakan nyata perlu segera diberlakukan untuk mengantisipasi agar pengaruh globalisasi yang terus menerus menggempur budaya Indonesia segera dapat ditepis dalam rangka memajukan bangsa tanpa harus mengorbankan nilai-nilai nasionalisme (ke-Indonesiaan). Pendidikan ideologi dalam rangka menanamkan rasa kebangsaan kepada generasi muda menjadi hal penting yang pantas dilakukan, ada beberapa tawaran solusi di antaranya:

Pertama, pendidikan formal.
Dasar penanaman ideologi sesungguhnya sangat efektif dilakukan sejak dari sekolah-sekolah formal. Sejak masa kanak-kanak di Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), maka transformasi nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) akan sangat membekali masa depan mereka. Pembiasaan sikap yang berdasarkan nilai-nilai budaya Indonesia yang dikaitkan dengan mata pelajaran Kewarganegaraan diharapkan mampu membentuk sikap nasionalisme dalam segala perilaku keseharian.
Kedua, pendidikan non formal.
Di samping pendidikan formal, kita juga mengenal pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang berlangsung dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Penanaman rasa nasionalisme dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial seperti missal: dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI, para generasi muda diposisikan sebagai pelaku kegiatan 17-an, mulai dari mendirikan gapura, kebersihan lingkungan menyambut Hari Kemerdekaan, pemasangan bendera Merah-Putih, umbul-umbul, serta kegiatan lomba, malam tirakatan dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Di sini sangat diharapkan para tokoh masyarakat perduli terhadap generasi muda sehingga pelibatan mereka dalam menyongsong Hari Kemerdekaan merupakan salah satu implementasinya.
Ketiga, pendidikan informal.
Betapa pun pendidikan formal dan pendidikan non formal telah dilakukan, maka agar mencapai efektivitas lebih lanjut, akan lebih lengkap bilamana pendidikan informal, yaitu pendidikan di lingkungan rumah juga melangsungkan penanaman sikap dan moral menyangkut cara-cara kehidupan bernegara yang baik, bagaimana para orangtua mendidik anak-anaknya untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kultur Indonesia, bagaimana para orangtua membimbing anak-anaknya untuk menjadi warga negara yang baik, misalnya: melakukan pendekatan persuasif dan dapat menjelaskan bahwa kita sebagai bangsa sesungguhnya mempunyai tatanan nilai dan budaya yang adiluhung. Masuknya budaya luar sebenarnya tidak perlu ditolak secara ekstrim, namun menjelaskan secara persuasif bahwa nilai-nilai asing itu belum tentu sesuai dengan karakter bangsa kita- agaknya lebih mengena- sehingga si anak bisa memahami secara sadar.
Tentu saja, beberapa tawaran solusi seperti telah dipaparkan di atas masih memerlukan sikap tauladan dan sikap konsisten, terutama bagi para pendidik, tokoh masyarakat dan orangtua masing-masing agar digugu dan ditiru (sistem among) oleh generasi muda sebagai harapan dan masa depan bangsa. Sebagaimana terpetik dalam ajaran Ki Hajar Dewantara bahwa: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani. Ini nampaknya masih relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan maupun pengajaran di negeri tercinta, Indonesia.** Oleh: Fransiska Rosilawati

Rabu, 06 Agustus 2008

Selera Berbusana






Busana memiliki tugas penting dalam menimbulkan kesan. Orang yang berbusana
sesuai dengan struktur tubuh mereka nampak lebih menarik. Penampilan fisik
seseorang dan busana yang dikenakan membuat dampak pasti pada proses komunikasi.
Kita semua berbusana dan mungkin banyak diantara kita tak terlalu memperhatikan,
namun hal kecil ini memiliki peran untuk sebuah efektif. Jika kita memperhatikan
bagaimana cara berbusana, hal itu akan memperbaiki kemampun komunikasi kita.
(erl)

Ekspresi Wajah



Wajah merupakan cermin kepribadian individual. Ekspresi wajah mengungkapkan
pikiran yang sedang melintas pada diri seseorang. Sebagi contoh: sebuah senyum
mengungkap keramah-tamahan dan kasih-sayang;Mengangkat alis mata menunjukan
ekpresi heran; Mengernyitkan dahi menyampaikan ketakutan dan kegelisahan. Semua
emosi dan berbagai macam tingkah manusia diekspresikan dalam emosi yang berbeda
yang tergambar di wajah. Jadi saat melakukan komunikasi tunjukan ekspresi bahwa
Anda tertarik dengan bahan pembicaraan.

Kontak Mata



Hal pertama yang dilakukan seorang pembicara yang baik adalah menatap lawan
bicara dan mengambil jeda untuk memulai sebuah pembicaraan. Ini merupakan salah
satu cara yang membantu untuk menciptakan kesan baik pada lawan bicara. Usahakan
mempertahankan kontak mata sepanjang pembicaraan, agar lawan bicara Anda tak
merasa diabaikan.

Selasa, 05 Agustus 2008

MEMBANGUN KOMUNIKASI EFEKTIF


Sebagai makluk sosial komunikasi merupakan hal yang paling
dekat dengan kita. Apa sih sebenarnya komunikasi itu? Komunikasi dapat kita
artikan sebagai berbagi pikiran, informasi dan intelijen. Segala bentuk
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan menyampaikan pesannya pada
orang lain merupakan tujuan komunikasi. Lalu jika pesan yang kita maksudkan
tersebut tidak sesuai dengan penangkapan lawan bicara kita, terjadilah
mis-komunikasi, Nah, sebuah komunikasi yang efektif membutuhkan kejernihan
pesan, kelengkapan pesan, ekspresi wajah, kontak mata, postur tubuh, dan
penampilan fisik secara eksternal.
Di era modern ini mungkin nampak 'tolol' melihat seseorang berusaha menciptakan
kesadaran komunikasi. Banyak di antara kita memberi sedikit perhatian pada hal
ini tetapi kenyataanya komunikasi ini terus berlangsung, tak peduli siapa anda,
jika anda tidak bisa berkomunikasi dengan semestinya maka tak seorangpun akan
mendengarkan Anda. Jadi komunikasi merupakan sebuah asset penting sebagai
tambahan untuk kepribadian Anda. Bagiamana membangun sebuah komunikasi efektif
tersebut, berikut beberapa hal yang sebaiknya jadi pertimbangan untuk
dikembangkan: