Kamis, 04 Februari 2010

" Desa Berdering" dan "Desa Pintar" Sebagai Upaya Memperlancar Arus Informasi

Komitmen bahwa nantinya tidak ada lagi wilayah Indonesia yang terisolir nampak mulai terwujud. Keinginan semua pihak, baik pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkompeten untuk membangun infrastruktur teknologi informasi sampai ke wilayah pedesaan sudah diupayakan. Belum lama berselang, di akhir bulan November 2009, proyek Palapa Ring yang sudah direncana matang sejak tahun 2005 akhirnya mulai bisa dioperasikan, setidaknya pada langkah pertama dibangun jaringan komunikasi seluler di beberapa wilayah desa (Desa Berdering) untuk kemudian dilanjutkan melalui program pemerataan jaringan internet (Desa Pintar) sehingga pada tahun 2014 nanti diharapkan cita-cita Menuju Masyarakat Informasi akan dapat tercapai.

Peresmian Awal Pembangunan Palapa Ring, Pengoperasian Program “Desa Berdering” (USO) dan Sejumlah Proyek Infrastruktur Telekomunikasi oleh Presiden RI Pada Tanggal 30 November 2009 telah dilakukan. Diawali dengan sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring dari Mataram. Lewat layar lebar yang disediakan di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan seluruh tamu undangan bisa menyaksikan pidato tersebut. Di akhir sambutannya, Menkominfo Tifatul menyampaikan pantun yang ditujukan kepada SBY. Pada kesempatan tersebut, SBY juga melakukan telepon dengan dua warga yang terletak di desa terpencil di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Drs Alwi dan warga desa terpencil di pedalaman Pulau Kalimantan, Pak Suni. Baik Pak Alwi dan Pak Suni saling menceritakan kebahagiaannya dengan masuknya telepon di kampung mereka. Dengan adanya program 'Desa Berdering', mereka bisa menjual hasil pertanian ke kota cukup dengan menggunakan telepon saja. 'Sebelumnya harus diangkut ke kota 11 kilometer," cerita Pak Alwi (detikcom, 30 November 2009).

Dicanangkannya program “Desa Berdering” dan telah diresmikannya pengoperasian akses telekomunikasi dan informatika di beberapa wilayah pedesaan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan pihak pengusaha di bidang telekomunikasi menunjukkan bahwa proses pemerataan informasi guna menunjang berbagai aktivitas di seluruh desa di Indonesia merupakan bukti nyata dari pembangunan menuju modernisasi. Arus informasi yang tadinya belum merata, terutama di lokasi desa-desa terpencil (terisolir) diharapkan kelak di kemudian hari (2014) sudah tidak ada lagi yang namanya kesenjangan informasi. Langkah awal ini juga merupakan entry point untuk kemudian diteruskan secara berkesinambungan menuju program “Desa Pintar” yaitu pemerataan akses teknologi berbasis komputer (internet) sehingga pergaulan di tingkat global semakin hari semakin terealisasi dan bisa dilakukan atau dinikmati oleh seluruh warga negara di republik tercinta ini.

Masyarakat Desa, Gaptek?
Anggapan umum seringkali terlontar bahwa masyarakat desa (terpencil) adalah masyarakat yang gagap teknologi (gaptek). Bahkan anggapan tersebut seolah digeneralisir dan sesungguhnya layak dicermati secara lebih jauh. Benarkah demikian adanya? Jika diamati secara nyata di lapangan, agaknya anggapan di atas tidaklah selalu benar, banyak hal yang perlu dilihat mengapa masyarakat desa “kurang akrab” dengan teknologi informasi dan komunikasi?

Pertama, letak geografis. Apabila dikatakan masyarakat desa gaptek kiranya kurang tepat. Misalnya saja, masyarakat desa yang mempunyai aktivitas sosial-ekonomi telah banyak yang memiliki handphone (HP). Jenis dan tipe apapun sudah banyak dijumpai di desa-desa, terutama bagi mereka yang mobilitasnya tinggi selalu dijumpai alat komunikasi yang paling praktis tersebut. Komputer juga sudah mulai ditemui di pedesaan, walaupun masih terbatas pada kalangan tertentu yang berkecimpung dalam bidang pendidikan formal. Hanya saja persoalannya terletak pada ketiadaan fasilitas pendukung, seperti Base Transceiver Station. (BTS) yang jumlahnya terbatas sehingga penerimaan sinyal pada receiver dan handphone menjadi lemah. Padahal BTS banyak berfungsi untuk menjembatani perangkat komunikasi antara pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain. Keterbatasan BTS inilah sebagai penyebab kurang lancarnya arus informasi ke wilayah pedesaan terpencil.

Kedua, keterbatasan listrik. Harus dipahami bahwa belum semua wilayah pedesaan di negeri ini sudah mempunyai fasilitas listrik, desa-desa terpencil di pulau-pulau tertentu masih belum dijangkau/memiliki ketersediaan listrik. Bagaimana mungkin akses terhadap informasi bisa berlangsung secara optimal bilamana listrik saja tidak tersedia? Ini merupakan persoalan sekaligus kendala yang perlu mendapat perhatian bilamana diharapkan nantinya ada pemerataan informasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada baiknya, khusus untuk lokasi desa terpencil yang tidak tersedia listrik kemudian dirancang solar cell (tenaga matahari) sebagai penyuplai tenaga listrik, atau bisa juga memanfaatkan micro hydro (tenaga air) dan win turbin (tenaga angin).

Ketiga, investasi besar. Untuk membangun jaringan kabel Telkom ke wilayah desa bukan merupakan sesuatu yang mudah, demikian pula untuk membangun BTS bagi operator seluler sudah barang tentu tidak sedikit menghabiskan dana. Sehungan hal itu maka logis bilamana setiap perusahaan selalu mempertimbangkan untung dan ruginya sebelum membangun jaringan telekomunikasi atau mendirikan tower-tower BTS tersebut. Kelayakan untuk membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi atas pertimbangan kondisional dan inilah seringkali membuat desa (terpencil) kurang mendapat perhatian serius dalam hal penyediaan fasilitas jaringan.

Faktor-faktor tersebut di atas layak dipahami. Masyarakat desa sesungguhnya punya kemauan serta kemampuan sama dengan masyarakat kota dalam penggunaan atau pemanfaatan telepon (handphone) misalnya, namun karena jaringan belum tersedia dan BTS masing-masing operator kurang merata keberadaannya di desa-desa maka sinyal di desa (terpencil) tidak stabil, kadang malahan tidak ditemui sinyal (blankspot). Hal inilah yang menyebabkan akses informasi terhambat. Belum adanya pihak penyelenggara yang berminat berinvestasi untuk membangun sarana dan prasarana teknologi informasi- maka masyarakat desa kurang optimal dalam mengakses informasi melalui telepon. Berdasarkan kondisi demikian, sesungguhnya kurang benar jika kemudian muncul anggapan bahwa masyarakat desa termasuk pada golongan gagap teknologi (gaptek). Hanya kondisilah yang ”memaksa” mereka memiliki keterbatasan untuk melancarkan aktivitas komunikasi.

”Desa Pintar” Perlu Pelatihan
Khususnya berkait dengan teknologi berbasis komputer (internet), agaknya untuk program yang satu ini memerlukan kajian tersendiri, misalnya dalam pencanangan ”Desa Pintar” nantinya perlu dibarengi adanya pelatihan-pelatihan praktis, jika memang perlu maka pelatihan dilakukan secara berkelanjutan. Kalau memungkinkan, juga perlu pelatihan menyangkut pada tingkat manajemen perawatan/pemeliharaan bekerjasama dengan pemerintah daerah maupun pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi. Internet masuk desa secara massif memang tidak seperti membalik telapak tangan, program USO atau Universal Service Obligation yang nantinyadirencana menjangkau akses internet bagi 5.748 kecamatan di seluruh Indonesia mestinya layak dibarengi peningkatan kemampuan sumber daya manusia pengguna (masyarakat setempat) melalui upaya pelatihan agar pemasyarakatan teknologi dapat berlangsung kondusif.

Mengingat bahwa penyediaan sarana dan prasarana teknologi informasi berbasis komputer (internet) ini bukan merupakan barang murah, terlebih peralatannya yang harus ditangani secara berhati-hati, termasuk pemeilharaannya harus berkelanjutan- maka perencanaan lokasi perlu mendapat pertimbangan matang. Lokasi strategis bisa diambil misalnya berada di pusat keramaian/penduduk, sedangkan untuk bangunan fisik dan mudah dilakukan kontrol maka pilihan lokasi berdekatan dengan pusat pemerintahan kecamatan. Aspek kenyamanan dan keamanan menjadi hal yang tidak bisa diabaikan sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat desa maupun kecamatan tidak berlangsung secara musiman. Sudah banyak proyek mangkrak dan berjalan sesaat atau terkesan sporadis, muncul proyek baru secara mendadak dan hilang begitu saja tanpa meninggalkan kesan. Proyek ”Desa Pintar” diharapkan dapat dilaksanakan secara serius dan bisa bermanfaat dalam jangka panjang.

Dari semua pembahasan tulisan ini selanjutnya dapat disimpulkan bahwa program pemerataan informasi melalui ”Desa Berdering” dan ”Desa Pintar” patut disikapi secara positif. Layanan akses telepon dan internet yang tercakup dalam program USO ini selanjutnya dapat dimaknai sebagai ajang pengenalan teknologi informasi, khususnya internet dan komputer kepada masyarakat di wilayah pedesaan. Melalui upaya demikian selanjutnya kehadiran teknologi informasi akan membawa efek ganda yaitu dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, sebagai wahana pendidikan dan pelatihan, peningkatkan produktivitas dan peningkatan perekonomian masyarakat setempat.

Dengan perkataan lain, kehadiran teknologi informasi ke wialayah pedesaan setidaknya akan dapat menunjang berbagai aktivitas masyarakat. Komunikasi dan informasi yang berteknologi modern telah menjadikan suatu kebutuhan sarana dalam rangka efisiensi dan efektivitas dalam segala hal maupun kegiatan masa kini maupun masa datang. Tak terkecuali, masyarakat di pelosok desa pun memerlukan sarana komunikasi dan informasi untuk menunjang segala aktivitasnya, termasuk untuk melakukan kontak dan bergaul dengan seluruh mitranya sesuai kepentingan masing-masing. Melalui program USO tersebut diharapkan dapat memperlancar arus informasi dan pada gilirannya nanti dapat menunjang tercapainya kemakmuran bagi seluruh pelosok Indonesia, dapat dinikmati secara merata hingga ke desa-desa terpencil sekalipun.
___________
Fransiska Rosilawati, Pranata humas di BPPKI Yogyakarta,